Postingan sebelumnya:
Seperti paginya, Kamis sore
itu suster kembali datang ke rumah. Kondisi Nadaa baik. Tidak panas, tidak
pusing atau lemas.Hanya infusnya sempat agak macet (sebelum suster datang),
tapi sudah beres lagi ketika ‘diutak-atik’ suster.
Lalu suster memberi
injeksi lewat selang infus. Ketika saya tanya, hanya dijawab antibiotik, anti
radang, dan vitamin. Semuanya atas instruksi dokter.
Tak lama setelah suster
pulang, Nadaa minta buang air kecil. Ternyata setelah itu infusnya macet lagi.
Saya coba kutak-katik seperti yang dicontohkan suster tadi, masih macet dan
cairannya tak mau menetes.
Saya pun langsung sms dan
telpon ke suster dan Dokter R. Lama tak ada respon. Kembali saya coba
memperbaiki infusnya. Nadaa mulai mengeluh tangannya sakit, dan ada darah yang ‘naik’
(ok, saya tau, harusnya saya tak sepanik itu. Toh saya juga sudah beberapa kali
diinfus dan kadang ada sedikit darah yang ‘naik’. Tapi kalau melihat anak
sendiri yang kesakitan, dan ada yang tak beres dengannya, mau tak mau panik
juga sayanya).
Ketika saya coba
kutak-katik lagi, saya coba lepas pangkal infus dari botolnya, eeeeh malah
infusnya tumpah. Makin paniklah saya. Dokter dan suster juga belum bisa
dihubungi.
Akhirnya saya diamkan
saja si infus, dalam posisi ‘stop’. Rasa galau kembali merasuk. Kali ini lebih
tinggi kadarnya.
Lalu datang sms dari
Suster I. Katanya dia dan dokter sedang ada perlu di luar. Nanti akan datang ke
rumah saya, jika sudah kembali pulang.
Saya mulai kecewa dengan
Dokter R, dan hampir memastikan bahwa keputusan home-care itu ternyata keliru.
Oke-lah mungkin si anak baik-baik saja, tidak panas lagi. Tapi kok rasanya
kurang maksimal perawatannya. Infus tidak lancar, dokter dan suster pun tidak stand-by.
Saya memutuskan untuk
bicara dengan Dokter R, malam itu juga.
No comments:
Post a Comment