Pages

Sunday, January 27, 2019

Belajar dari Anders Antonsen


Siapa Anders Antonsen? Mungkin banyak yang belum kenal dengan pemain bulutangkis asal Denmark satu ini. Sebelum ini, saya sendiri hanya sekilas mendengar nama Antonsen dan lebih familiar dengan Viktor Axelsen, pebulutangkis Denmark ranking 6 dunia yang sempat menduduki peringkat 1. Terus terang baru stalking profil si Antonsen setelah dia kemarin berhasil mengalahkan Jonatan Christie aka Jojo di Semifinal Daihatsu Indonesia Masters 2019.

Si Antonsen ini merupakan bibit baru bulutangkis Denmark, usia 21 tahun dan sekarang berada di posisi nomor 20 BWF world ranking.

Nah, di final tadi sore, Antonsen bertemu Kento Momota, si ranking 1 dunia asal Jepang. Skor head to head mereka sebelum match final adalah 3 – 0 untuk Momota. Di atas kertas, Antonsen jelas kalah dari Momota.

Tapi apa yang terjadi..

Di luar dugaan, dari awal set pertama ternyata Antonsen memperlihatkan permainan yang ulet. Pertandingan berlangsung seru, skornya ketat. Antonsen meladeni serangan-serangan Momota dengan sabar, hingga tak jarang Momota melakukan kesalahan sendiri. Defens-nya ciamik. Bola-bola sulit dari Momota berhasil dikembalikan dengan baik. Serangan dilancarkan Antonsen dengan tenang dan placingnya bagus. Tidak buru-buru. Kelihatan kalau dia fokus sekali dalam permainan. Set pertama pun dimenangkan oleh Antonsen dengan skor 21-16.

Pada set kedua Momota bermain lebih safe. Antonsen kelihatan agak kurang fokus, sehingga harus merelakan set kedua dengan skor 14-21.

Saat itu udah agak ragu kalo bakal ada kejutan (Antonsen yang menang dan jadi juara). Biasanya Momota unggul kalo main sampai 3 set. Dia bagus di stamina dan mental: kuat dan nggak gampang down. Apalagi setelah berhasil merebut set kedua, mentalnya jadi ‘naik’. Ditambah lagi sepanjang pertandingan, supporter Istora heboh meneriakkan “Kento.. Kento..”

Tapi ternyata di set ke-3, Antonsen mampu bangkit lagi. Fokus, tetap tenang, dan serangannya terukur. Air mukanya tetap kalem tanpa emosi berlebihan. Smash dan dropshot tajam Momota dia ladeni dengan baik. Nettingnya juga mulus dan cukup membuat Momota kewalahan. Satu demi satu poin dia kumpulkan, meski cukup ketat di awal. Walaupun sempat terlihat agak nervous di poin-poin terakhir dan ingin buru-buru menyelesaikan pertandingan, akhirnya Antonsen berhasil menang lagi di set ke-3 dengan skor 21-16. Seru plus tegang..! Setelah menang, baru dia keliatan ekspresinya dan meluapkan emosinya.






Amazing, Antonsen..! Masih muda, underdog, lawannya bukan main-main, tanpa pelatih, (hampir) semua supporter dukung lawan.. tapi berhasil menang dan jadi juara! Luar biasa..
Btw ini gelar juara super series 500 pertama yang berhasil dia raih.

Hebatnya lagi, Antonsen ini (dan pemain Denmark lainnya) bertanding tanpa didampingi coach dan therapist (plus pake biaya sendiri), karena memang lagi ada permasalahan di federasi bulutangkis sana. Jadi pas jeda, kalo Momota sambil minum sambil lap keringet sambil dikasih pengarahan sama 2 orang coachnya, dan dikompres-kompres es batu (es batu atau apa sih itu, yang suka ditaro di tengkuk? Hehe), si Antonsen itu ya minum-lap keringet sendirian di pinggir lapangan. Nggak ada yang ngasih pengarahan, nggak ada yang naro-naro es batu di tengkuk, nggak ada yang nyuporterin.. betul-betul single fighter!

(Makanya pas menang tadi, Antonsen agak bingung juga mau seru-seruan celebrating his winning moment sama siapa.. karena betul-betul sendirian. Kabarnya pemain-pemain Denmark lainnya malah sudah pulang duluan. Kasian ya, hehe. Mengharukan sih aslinya..).

Btw.. sambil nonton Antonsen lari-larian puter arena, buka kaos dan ngelempar kaosnya ke supporter.. jadi sambil kepikiran..
Kalo dianalogikan dalam kehidupan dunia, kita (saya) mungkin pernah berada di posisi seperti Antonsen di pertandingan tadi. Posisi yang sangat tidak menguntungkan..

Kita mungkin pernah mengalami kondisi yang berat, cobaan bertubi-tubi, seperti tak mungkin untuk melalui.. sebagaimana Antonsen berlaga di pertandingan melawan Momota, seperti tak mungkin untuk menang.

Lalu di tengah kesulitan kita itu tak ada seseorang yang menguatkan, kita harus menghadapi semua cobaan sendirian.. Sebagaimana Antonsen bertanding tanpa coach yang mendampingi.

Belum lagi.. sudahlah tidak ada yang menguatkan dan harus menghadapi sendirian.. ditambah lagi semua orang kontra dan menyalahkan kita.. bahkan mungkin senang melihat penderitaan kita.. seperti tadi Antonsen bertanding dengan seisi Istora yang dengan gegap gempita meneriakkan nama dan mendukung Momota.

Seems that everything goes wrong.. sepertinya semesta mendukung untuk ‘mengalahkan’ kita, membuat kita tak berdaya.

Tapi ternyata Antonsen bisa membalikkan keadaan. Tetap fokus, sabar, dan tenang menghadapi situasi sulit yang tidak menguntungkan. Terus berusaha, gigih, pantang menyerah, ‘tak peduli’ pada lingkungan yang ‘negatif’. Hingga akhirnya berhasil menang dan jadi juara!

Mungkin kita juga harus meniru Antonsen. Untuk tak menyerah begitu saja pada keadaan.. Untuk tetap kalem dan tidak grusa-grusu menghadapi kesulitan.. Untuk terus berusaha mengatasi setiap ujian dan menjadi pemenang di kehidupan..


Again.. congrats, Antonsen. You really deserve it!

Thursday, December 20, 2018

Cerita dari Semangkuk Mie


Cuaca mendung. Ruangan sepi. Paduan antara kelabu, dingin, hening. Bikin suasana melow. Dan perut lapar tentu saja, hahaha.

Mendadak saya pengen makan mie. Sekilas melihat jam, sudah hampir jam 12. Indomie rebus dengan telur dan sawi plus irisan cabe rawit kayaknya cocok.

Oke.. habis shalat dzuhur saya pun meluncur ke kantin belakang kantor. Duduk manis di pojokan menanti pesanan datang. Membayangkan semangkuk mie rebus panas dengan uapnya yang menguar menggoda selera.

Lima belas menitan menunggu, pesanan tak kunjung datang. Saya melongok ke dapur, menanyakan status pesanan. Ternyata mie masih diproses di atas kompor. Sepertinya oleh pelayan baru, karena sebelumnya saya tidak pernah melihatnya di kantin.

Akhirnya yang ditunggu datang juga. Tapi.. wait. Sepertinya agak di luar harapan. Saya membayangkan mie instant dengan potongan sawi hijau yang melimpah dengan telur masih berbentuk setengah utuh seperti biasa jika saya beli mie di kantin ini.

Sementara yang saya dapat sekarang.. Mie rebus dengan kuah ‘keruh’ karena agaknya telurnya dikocok di kuah ketika merebus mie. Meninggalkan serabut-serabut halus telur yang hancur dalam kuah yang kental. Sawinya pun suma sedikit, dengan potongan yang kecil-kecil pula. Agak kurang sesuai bayangan.

mie rebus siang ini
Tapi sudahlah..

Perlahan saya mulai menyuap mie yang terhidang. Alhamdulillah rasanya tetap nikmat. ‘Cacat’ yang ada hanya sedikit dibandingkan nikmat yang dirasakan. Rasanya tetap enak (tentu saja! Indomie gitu lho, hihi), dan ‘kepyar’ (aduh, ini Bahasa Jawa agak susah nyari terjemahannya, hehe).

Jadi merenung..

Tadi saya bisa saja membiarkan rasa kecewa karena mie rebus yang tidak pas. Atau makan dengan ngedumel, menyayangkan kenapa mienya tidak seperti biasanya. Atau complain ke pelayan kantin.. kok begini-begitu.. seharusnya bla-bla-bla..

Bayangkan kalau saya fokus ke kekurangan mienya dan tetap mempertahankan rasa negatif alias kecewa. Pasti makannya jadi kurang nikmat. Lalu kehilangan momen syahdu makan mie di cuaca melow (halah.. lebay :D). Mungkin juga muncul rasa nggak enak karena complain kepada pelayan kantin.

Banyak ruginya..

Padahal barang yang dimakan sama. Rasanya sama.
Yang beda adalah cara menyikapinya..

Jadi merenung lagi..

Berarti begitu juga kehidupan. Kadang kita harus menghadapi kondisi yang kurang ideal bagi kita. Yang tidak kita harapkan. Yang mengecewakan.

Kita bisa saja menyesalinya terus-menerus. Larut dalam kecewa. Berandai-andai, seharusnya begini - mustinya tidak begitu..

Tapi toh itu sudah kejadian. Kenyataan sudah tersaji dan harus dijalani. Tinggal bagaimana menyikapi dan menghadapinya. Apakah kita memilih untuk terus mempermasalahkan hal yang bikin kecewa, atau menerima dengan lapang dada, fokus ke hal positif yang ada, dan menjalani dengan sebaik-baiknya.

Ciee.. sok bijak banget ini. Mungkin efek cuaca dan kekenyangan mie ya, hahaha.

Aslinya ini catatan untuk diri sendiri sih, biar lebih positif menjalani hidup. Mengurangi mengeluh dan memperbanyak bersyukur.
Semoga bisa ya.. Aamiin..


“Be grateful for what you have and stop complaining - it bores everybody else, does you no good, and doesn't solve any problems.”  (Zig Ziglar)


Saturday, September 8, 2018

Tentang Curhat dan Bercanda


Beberapa hari terakhir saya mendapat komentar dari beberapa rekan, “Makanya jangan keseringan dengerin orang curhat sedih.. jangan terlalu serius..” atau, “Kamu keseringan denger cerita yang sedih-sedih sih.. jadi susah ketawa n gak bisa becanda.” Something like that. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali.

Ok, saya tau mereka mungkin cuma berseloroh. Mungkin karena di mata mereka saya terlihat berlagak ‘serius’ akhir-akhir ini, jarang ikutan becanda atau ketawa-ketawa. Mungkin juga saya dinilai sering bergaul dan banyak ngobrol dengan orang yang dianggap ‘serius’, yang kemudian dibahasakan dengan ‘sering dengerin cerita sedih’.

Dalam hati jadi tergelitik dan pengen nulis. Ada dua hal yang pengen saya komenin balik. Tapi berhubung kemungkinan akan panjang, jadinya lebih suka ditulis kayak gini deh.. wkwk. Sekalian lah buat bahan apdet blog, secara blog kok dah lumutan gini gak pernah diapdet-apdet.. hehe.

Pertama, soal ‘keseringan dengerin orang curhat sedih’.

Anggaplah saya sering ngobrol sama teman yang curhat. But what’s wrong dengan sering dengerin orang curhat? Atau cerita sedih? Apalagi kalo itu teman kita sendiri..

IMHO kalo kita punya teman tuh ya harapannya saat kita sedih atau punya masalah, dia bisa dan mau dengar cerita sedih kita.. tetap mau berteman di kala ups and down, gak cuma di saat-saat senang saja.

Nilai seorang teman justru bisa dilihat saat posisi kita lagi terpuruk atau di bawah. Di situ kita bisa tau, mana teman yang benar-benar teman, dan mana yang sekedar ‘teman numpang lewat’. Dan kalo saya sih pengennya jadi dan punya teman jenis yang pertama.

Terus terang selama ini lumayan sering jadi tempat curhat oleh beberapa teman. Padahal ya nggak pinter-pinter amat ngasih solusi lho, hehe. Alhamdulillah.. (eh maksudnya bukan bersyukur lihat teman kesusahan ya), berarti saya dianggap teman yang bisa dipercaya untuk menampung curhatan. Berarti saya dianggap teman yang nggak ‘ember’ yang suka menyebarluaskan cerita pribadi.  Aamiin.. insyaAllah.

Bukankah kalo pas kita punya masalah dan curhat ke seseorang, pengennya kan ya didengar, di’puk-puk’ dan di-keep curhatan itu agar jangan sampe ke mana-mana..? Just try to put myself in other’s shoes aja sih..

Sebenernya dari mendengar curhatan teman, kita juga bisa mengambil hikmah/pelajaran hidup, bisa lebih bersyukur, plus sebagai self-reminder juga.. jangan sampai kita jadi jumawa karena cobaan hidup bisa menimpa siapa saja. *aduh, sok bijak amat iniii.. hihi.

Ohya, kadang saya juga mendapat ide cerita setelah mendengar cerita sedih atau curhatan. Tapi itu dulu ding.. jaman masih lumayan produktif nulis, hehe. Ada beberapa cerpen di majalah dan beberapa artikel yang ide awalnya dapet dari curhatan-curhatan teman *ngaku.

Nah sekarang soal yang kedua, yaitu ungkapan ‘jangan terlalu serius’.

Hmm.. gimana ya. Sebenernya saya tuh orangnya fleksibel aja sih.. bisa serius, becanda juga sering. Cenderung suka becanda malah (walopun pendiem). Yang suka ngikutin status fb atau wa saya kayaknya tau (*jiaah.. sok pede), kalo isinya jarang yang serius amat dan sering bahas yang remeh-temeh, hehe.

Tapi nih ya, seiring umur yang udah gak muda lagi dan belajar dari tulisan-tulisan bijak / islami yang pernah saya baca, rasanya di umur yang sekarang ini udah waktunya mengurangi hal-hal konyol/guyonan lebay/having fun tanpa makna.

Bukannya trus jadi yang serius amat juga sih.. kita tau Islam juga tidak melarang tertawa atau bercanda, Rasulullah juga kadang bercengkerama dengan istri dan sahabat-sahabat beliau. Walopun ilmu saya belom sampai untuk bahas surah/hadis tentang hal ini.. tapi kayaknya kebanyakan bercanda juga nggak baik. Pernah dengar juga ada hadis yang menasihatkan kita untuk tidak terlalu bayak tertawa, karena akan mematikan hati.

Lagian inget umur aja sih.. kalo mau terlalu sering bercanda atau ikutan bercanda yang kebablasan kok ya rasanya udah gak pantes. Apalagi kalo becandanya malesin. Ah, kapan-kapan mau nulis juga ah tentang ini.. *kapan emangnya? pengen-pengen doang jarang eksekusi :D

Demikian ulasan kurang penting tentang curhatan dan becandaan. Udahan dulu ya.. ada teman yang mau curhat nih #eh ;)





*ilustrasi foto kurang nyambung dengan isi tulisan :D