Pages

Wednesday, October 30, 2013

Saatnya Beralih ke StarkLED: Cahaya Hangat yang Hemat dan Sehat

Saat awal menempati rumah yang sekarang, saya berinisiatif mengganti lampu pijar yang sudah ada karena kurang terang. Saya membeli 2 buah lampu hemat energi (LHE) untuk dipasang di ruang tamu, dengan harapan lebih terang, hemat energi, dan tahan lama. Namun produk yang katanya awet itu, ternyata baru digunakan sebulan-dua bulan sudah mati dan tak bisa dipakai lagi. 

Saya pun mencoba meminta ganti lampu yang baru ke toko tempat membeli lampu itu, karena masih dalam masa garansi. Tapi ternyata toko tersebut tak bisa (tak mau) memberikan ganti, dan katanya harus diurus sendiri ke distributor utama. Wah, bisa-bisa lebih mahal ongkos transportnya daripada harga lampunya. Akhirnya saya batal meng-klaim garansi.

Friday, October 25, 2013

PLN Bersih? Bisa!




“Sudah 2 jam nih, kapan nyalanya?”


“Aduh, anakku terpaksa belajar pake lilin.”


PLN oh PLN, mati lampu kok kayak minum obat saja. Tiga kali sehari :D”


Hmm, malam itu status update teman-teman hampir senada. Di facebook, twitter, BBM, keluhannya sama. Soal mati lampu (listrik). 

Tuesday, October 1, 2013

(7) Alhamdulillah, di Rumah Lagi


Postingan sebelumnya:
Sampai hari Sabtu kondisi Nadaa tetap baik. Nafsu makannya juga bagus. Hanya saja frekuensi pipisnya masih saja sering, sehingga bedrestnya kurang optimal (sempat dipakaikan pispot tapi dia tidak nyaman).  Padahal katanya pasien typhus harus betul-betul bedrest. Bahkan kalo bisa buang air pun dilakukan di tempat tidur saja.

Berhubung kondisi Nadaa terlihat sudah baik, hari Sabtu itu saya meminta dokter untuk bisa pulang. Ternyata belum boleh. “Nunggu pengobatan typhusnya selesai dulu Bu,” begitu kata dokter anak yang menangani Nadaa. Kata perawatanya, kemungkinan sampai hari Minggu atau Senin. 

Kabarnya dokter anak yang merawat Nadaa ini sangat berhati-hati. Karena pernah ada satu pasien typhus yang merasa sudah sehat dan minta pulang, ternyata di rumah langsung demam lagi, sehingga harus kembali di-opname.

Hari Minggu, dokter anak libur. Hanya ada dokter umum yang jaga di RS. Ketika Nadaa diperiksa dan ditekan bagian perutnya, ternyata masih terasa agak sakit. 

Sorenya Nadaa mengeluh pusing. Saya raba keningnya, terasa agak hangat. Wah, bagaimana ini. Padahal rencananya besok (Senin) mau pulang. Kok malah terlihat agak (sedikit) menurun kondisinya.

Ketika diperiksa perawat, ternyata panasnya ‘hanya’ 36.7 derajat dan belum dikategorikan demam. Alhamdulillah. Perawat menyarankan Nadaa untuk menggunakan pispot jika mau buang air. Syukurlah Nadaa akhirnya mau juga memakai pispot, sehingga tidak harus sering turun-naik tempat tidur dan berjalan ke toilet.

Senin pagi kemarin, Nadaa sudah tidak merasa pusing lagi. Suhu tubuh normal. Sudah mulai banyak bicara dan tertawa. Siangnya dokter menyatakan Nadaa sudah boleh pulang. Alhamdulillah..

Hari ini, Selasa 1 Oktober 2013  Nadaa sudah di rumah. Masih harus istirahat dan belum sekolah lagi. Masih minum obat antibiotik. Masih harus kontrol ke dokter hari Sabtu nanti. Makannya juga harus yang lunak-lunak dulu.

Semoga semua peristiwa kemarin-kemarin ada hikmahnya. Dan yang penting, semoga kondisi Nadaa segera betul-betul pulih dan bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala. Selalu sehat dan tak kambuh-kambuh lagi sakitnya. Aamiin..

(selesai)

(6) Akhirnya Opname Juga

Postingan sebelumnya:


Jadi akhirnya malam itu juga, Kamis tanggal 26 September 2013, sekitar pukul setengah sepuluh, saya membawa Nadaa ke rumah sakit.

Sebenarnya kasihan juga melihat Nadaa harus ditusuk lagi lengannya untuk diambil darah dan diinfus (lagi), tapi daripada galau dan bingung rawat sendiri di rumah. Sedihnya lagi, kamar utama yang dipesan sebelumnya sudah keburu terisi. Nadaa terpaksa harus berbagi kamar dengan seorang pasien lainnya, di kamar Kelas I. Hilmy pun terpaksa tidur di tikar bersama saya.

Oleh perawat saya ditanya, Nadaa sudah diberi suntikan apa saja, karena ternyata di rujukan dari Dokter R tidak tertulis secara rinci status medis Nadaa dan obat apa saja yang diberi. Hanya tertulis DB dan terapi injeksi. Injeksinya apa saja? Saya hanya bisa menjawab: antibiotik, anti radang, dan vitamin, seperti jawaban Suster I kepada saya tempo hari. Antibiotik apa? Entahlah. Ah, sekali lagi saya kecewa terhadap Dokter R.

Saya pun agak menyesali keadaan. Jika saja sejak awal saya langsung membawa Nadaa ke RS dan tidak usah menuruti anjuran Dokter R untuk home-care, tentu Nadaa mendapat kamar utama yang lebih nyaman sesuai yang dipesan. Tentu tidak akan ada injeksi antibiotik yang ‘tanda-tanya’ dan kemungkinan bisa tidak tuntas pemberiannya. Tentu Nadaa tidak akan kesakitan karena harus mengulang tusukan infus dan pengambilan darah. Dan serentetan ‘jika saja’ dan ‘tentu’ lainnya..

Ohya, satu lagi yang membuat saya kecewa. Di rumah, Dokter R menganjurkan Nadaa untuk mengkonsumsi P****iSweat dan jus jambu. Ternyata di RS, Nadaa dilarang minum kedua jenis minuman tersebut, karena selain DB dia juga menderita typhus. Sedangkan minuman tadi rasanya asam sehingga bisa melukai ususnya yang sedang ‘bermasalah’. Nah lho.

Bagaimanapun, saya masih harus bersyukur karena kondisi Nadaa tetap stabil, tidak panas lagi, hanya terlihat sedikit lemah karena kesakitan di lengannya dan kurang istirahat malam hari itu. Alhamdulillah besok malamnya (Jumat malam), Nadaa bisa berpindah ruang perawatan ke kamar utama. Lebih nyaman, lebih private, istirahatnya pun bisa lebih tenang.

Ya, ya. Fainna ma’al ‘usri yusroo. Bersama kesulitan, ada kemudahan.

(bersambung)

Sambungannya ada di link berikut: (7) Alhamdulillah, di Rumah Lagi

(5) Lebih Baik ke Rumah Sakit


Postingan sebelumnya:
Jam sudah hampir menunjukkan pukul setengah 9 malam. Saya kembali menghubungi teman yang kerja di RS, ternyata kamar yang sudah dipesan kemarin sudah terlanjur terisi, karena kemarin saya batal membawa Nadaa ke RS.

Nadaa dan Hilmy  sudah hampir tidur ketika Dokter R datang ke rumah disertai suster. Mereka berdua langsung bangun lagi. Saya berterus terang bahwa saya bingung serta panik menghadapi infus yang macet-macet. Dokter R tersenyum maklum dan kembali menenangkan (lagi-lagi). 

Kata beliau kalo memang macet dan tidak yakin bisa membetulkan, biarkan saja dalam posisi stop sampai pagi, tidak apa-apa. Besok paginya Suster i akan selalu datang untuk cek, periksa dan memberi obat.

“Jadi tidak apa-apa infusnya berhenti sampai pagi Dok?” tanya saya agak tak yakin.

“Iya. Fungsi infusnya kan sekarang cuma untuk jalan pemberian suntikan obat saja. Ini anaknya juga sudah terlihat baik kok,” jawab Dokter R.

Tapi ternyata setelah dikutak-katik suster, si infus tetap macet juga. Dokter R menyuruh suster untuk memindahkan jarum infus ke tangan kanan Nadaa. Daaan, Nadaa kesakitan ketika ditusuk lagi. Ternyata salah tusuk. Entahlah apanya atau bagaimana, yang jelas saya mendengar kata ‘pecah’ (mungkin pembuluh darahnya? Atau apanya? Yang jelas salah posisi tusuk jarum infus). Tangan Nadaa langsung bengkak, dan mau dipindah jarum infusnya ke titik lain lagi di lengan kanan Nadaa.

Enough. 

Sudah sebelumnya saya panik dan bingung, dokter/suster tak kunjung datang, Nadaa kesakitan pula. Walaupun Dokter R masih tetap meyakinkan saya bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan, bahwa Nadaa sudah mau sehat dan tinggal dalam masa pemulihan, bahwa dia sudah beberapa kali menangani pasien home-care dengan DB dan/atau typhus dan semua baik-baik saja; namun saya ragu. 

Saya jelaskan baik-baik bahwa saya bukannya ragu dengan kemampuan Dokter R untuk mengobati Nadaa. Saya justru ragu dengan kemampuan dan mentalitas saya untuk mengurus Nadaa dengan baik di rumah.

Akhirnya Dokter R pun ‘melepas’ Nadaa. Dia wanti-wanti, selama infus dilepas dan menunggu dibawa ke RS, harus dijaga betul asupan cairannya. Soalnya berbahaya jika sampai kekurangan cairan, karena infus kan sudah dilepas.

Hah? Lhah? Bukannya belum lama dia menyatakan bahwa jika infus macet ngggak pa-pa di-stop dulu sampai pagi dan tunggu suster datang untuk membetulkan? Tanpa berpesan selama menunggu pagi itu Nadaa harus banyak minum?

Seketika saya langsung yakin, pilihan ke RS memang yang terbaik. Walaupun (kata Dokter R) Nadaa sudah dalam masa pemulihan dan masa kritisnya sudah lewat. Walaupun juga saya juga agak sungkan karena Dokter R baik dan ramah kepada kami, serta sepertinya lebih menganjurkan agar Nadaa dirawat di rumah saja.

(bersambung)

Cerita lanjutannya ada di:
(6) Akhirnya Opname Juga

(4) Repotnya Home-Care


Postingan sebelumnya:


Seperti paginya, Kamis sore itu suster kembali datang ke rumah. Kondisi Nadaa baik. Tidak panas, tidak pusing atau lemas.Hanya infusnya sempat agak macet (sebelum suster datang), tapi sudah beres lagi ketika ‘diutak-atik’ suster.

Lalu suster memberi injeksi lewat selang infus. Ketika saya tanya, hanya dijawab antibiotik, anti radang, dan vitamin. Semuanya atas instruksi dokter.

Tak lama setelah suster pulang, Nadaa minta buang air kecil. Ternyata setelah itu infusnya macet lagi. Saya coba kutak-katik seperti yang dicontohkan suster tadi, masih macet dan cairannya tak mau menetes.

Saya pun langsung sms dan telpon ke suster dan Dokter R. Lama tak ada respon. Kembali saya coba memperbaiki infusnya. Nadaa mulai mengeluh tangannya sakit, dan ada darah yang ‘naik’ (ok, saya tau, harusnya saya tak sepanik itu. Toh saya juga sudah beberapa kali diinfus dan kadang ada sedikit darah yang ‘naik’. Tapi kalau melihat anak sendiri yang kesakitan, dan ada yang tak beres dengannya, mau tak mau panik juga sayanya).

Ketika saya coba kutak-katik lagi, saya coba lepas pangkal infus dari botolnya, eeeeh malah infusnya tumpah. Makin paniklah saya. Dokter dan suster juga belum bisa dihubungi.

Akhirnya saya diamkan saja si infus, dalam posisi ‘stop’. Rasa galau kembali merasuk. Kali ini lebih tinggi kadarnya.

Lalu datang sms dari Suster I. Katanya dia dan dokter sedang ada perlu di luar. Nanti akan datang ke rumah saya, jika sudah kembali pulang.

Saya mulai kecewa dengan Dokter R, dan hampir memastikan bahwa keputusan home-care itu ternyata keliru. Oke-lah mungkin si anak baik-baik saja, tidak panas lagi. Tapi kok rasanya kurang maksimal perawatannya. Infus tidak lancar, dokter dan suster pun tidak stand-by.

Saya memutuskan untuk bicara dengan Dokter R, malam itu juga. 

(bersambung)

Untuk baca lanjutannya, sila klik: (5) Lebih Baik ke Rumah Sakit 

(3) Home Care atau Opname di RS?


Postingan sebelumnya:

Malam itu, Nadaa yang mulai menjalani home-care di rumah karena terkena DB dan typhus sekaligus, alhamdulillah bisa tidur dengan lumayan tenang. Infusnya pun tak masalah. Hanya saja, dia agak sering buang air kecil.

Saat Nadaa tidur, saya berpikir. Apakah mungkin lebih baik opname di rumah sakit saja? Sepertinya lebih terjamin. Lebih dekat dengan para perawat, tidak perlu sms atau menelpon untuk memanggil perawat. Pun tidak perlu menunggu pagi jika malamnya butuh ‘apa-apa’.

Saya mulai menelpon adik saya. Adik berpendapat, kalo DB lebih baik dirawat di RS saja. Lebih aman, terjamin perawatannya, dan lebih simpel. Di rumah malah justru repot lho, begitu katanya.

Di BBM, seorang teman urun rembug. Kebetulan anaknya pernah bedrest di rumah selama sepuluh hari karena terserang typhus. Tapi untuk typhus dan DB sekaligus seperti Nadaa, menurutnyalebih baik dirawat di RS saja.

Saya pun mengirim sms dan menelpon teman lain yang bekerja di RSUD. Menanyakan prosedur pendaftaran di RS (termasuk pengurusan Askes). Teman saya yang baik hati ini pun menganjurkan agar Nadaa dirawat di RS saja. Dia malah langsung memesankan kamar utama, jaga-jaga kalau malam itu atau besok pagi saya berubah pikiran dan membawa Nadaa ke RS.

Alhamdulillah semua baik-baik saja. Bahkan saya masih sempat mengganti cairan infus Nadaa dengan sukses.

Pagi menjelang. Saya masih galau, walaupun Nadaa relatif stabil. Suhu tubuhnya pun sudah normal. Saya menelpon Dokter R, menanyakan jam berapa suster akan datang ke rumah. Sekaligus ‘curhat’ tentang kegalauan hati saya, bahwa mungkin lebih baik Nadaa dirawat di RS saja. 

Tapi lagi-lagi, dokter R menenangkan saya. Ketika saya sampaikan rasa tak pede dengan kemampuan saya soal infus, dan juga makanan Nadaa, sekali lagi beliau bilang, “Nggak susah kok... Makanannya yang halus-halus seperti bubur. Nanti soal infus, kalo ada kesulitan dimatikan dulu, lalu kabari suster.”

Ya sudah, mungkin Nadaa dirawat di rumah saja tidak apa-apa. Toh dokternya bilang juga nggak pa-pa. Kondisi Nadaa secara umum juga baik. Tidak panas, tidak pusing, nafsu makan baik. Saat ditanya apakah merasa lemas, jawabannya pun tidak.

Ohya, selain obat, dokter memberikan Trolit, minuman serbuk untuk menaikkan cairan dan mineral di dalam tubuh. Dokter menginstruksikan agar Nadaa banyak minum air putih, plus mengkonsumsi jus jambu dan P***riSweat.

Ketika ibu saya menelpon, beliau juga menenangkan saya (walaupun sebetulnya lebih prefer Nadaa dirawat di RS). “Pertimbangan dokter pasti bukan tanpa alasan,” kata beliau. Apalagi Dokter R juga pernah merawat ibu ketika sakit di rumah saya, sampai perlu diinfus juga. Hingga Ibu dinyatakan sehat kembali.

Maka sepanjang hari Kamis itu Nadaa meneruskan home-care di rumah. Masih dengan infus yang terpasang di lengan. 

Saya pun relatif tenang, hingga sore datang dan ada kejadian yang membuat saya galau lagi.

(bersambung)

lanjutannya ada di link ini: (4) Repotnya Home-Care