Pages

Thursday, December 20, 2018

Cerita dari Semangkuk Mie


Cuaca mendung. Ruangan sepi. Paduan antara kelabu, dingin, hening. Bikin suasana melow. Dan perut lapar tentu saja, hahaha.

Mendadak saya pengen makan mie. Sekilas melihat jam, sudah hampir jam 12. Indomie rebus dengan telur dan sawi plus irisan cabe rawit kayaknya cocok.

Oke.. habis shalat dzuhur saya pun meluncur ke kantin belakang kantor. Duduk manis di pojokan menanti pesanan datang. Membayangkan semangkuk mie rebus panas dengan uapnya yang menguar menggoda selera.

Lima belas menitan menunggu, pesanan tak kunjung datang. Saya melongok ke dapur, menanyakan status pesanan. Ternyata mie masih diproses di atas kompor. Sepertinya oleh pelayan baru, karena sebelumnya saya tidak pernah melihatnya di kantin.

Akhirnya yang ditunggu datang juga. Tapi.. wait. Sepertinya agak di luar harapan. Saya membayangkan mie instant dengan potongan sawi hijau yang melimpah dengan telur masih berbentuk setengah utuh seperti biasa jika saya beli mie di kantin ini.

Sementara yang saya dapat sekarang.. Mie rebus dengan kuah ‘keruh’ karena agaknya telurnya dikocok di kuah ketika merebus mie. Meninggalkan serabut-serabut halus telur yang hancur dalam kuah yang kental. Sawinya pun suma sedikit, dengan potongan yang kecil-kecil pula. Agak kurang sesuai bayangan.

mie rebus siang ini
Tapi sudahlah..

Perlahan saya mulai menyuap mie yang terhidang. Alhamdulillah rasanya tetap nikmat. ‘Cacat’ yang ada hanya sedikit dibandingkan nikmat yang dirasakan. Rasanya tetap enak (tentu saja! Indomie gitu lho, hihi), dan ‘kepyar’ (aduh, ini Bahasa Jawa agak susah nyari terjemahannya, hehe).

Jadi merenung..

Tadi saya bisa saja membiarkan rasa kecewa karena mie rebus yang tidak pas. Atau makan dengan ngedumel, menyayangkan kenapa mienya tidak seperti biasanya. Atau complain ke pelayan kantin.. kok begini-begitu.. seharusnya bla-bla-bla..

Bayangkan kalau saya fokus ke kekurangan mienya dan tetap mempertahankan rasa negatif alias kecewa. Pasti makannya jadi kurang nikmat. Lalu kehilangan momen syahdu makan mie di cuaca melow (halah.. lebay :D). Mungkin juga muncul rasa nggak enak karena complain kepada pelayan kantin.

Banyak ruginya..

Padahal barang yang dimakan sama. Rasanya sama.
Yang beda adalah cara menyikapinya..

Jadi merenung lagi..

Berarti begitu juga kehidupan. Kadang kita harus menghadapi kondisi yang kurang ideal bagi kita. Yang tidak kita harapkan. Yang mengecewakan.

Kita bisa saja menyesalinya terus-menerus. Larut dalam kecewa. Berandai-andai, seharusnya begini - mustinya tidak begitu..

Tapi toh itu sudah kejadian. Kenyataan sudah tersaji dan harus dijalani. Tinggal bagaimana menyikapi dan menghadapinya. Apakah kita memilih untuk terus mempermasalahkan hal yang bikin kecewa, atau menerima dengan lapang dada, fokus ke hal positif yang ada, dan menjalani dengan sebaik-baiknya.

Ciee.. sok bijak banget ini. Mungkin efek cuaca dan kekenyangan mie ya, hahaha.

Aslinya ini catatan untuk diri sendiri sih, biar lebih positif menjalani hidup. Mengurangi mengeluh dan memperbanyak bersyukur.
Semoga bisa ya.. Aamiin..


“Be grateful for what you have and stop complaining - it bores everybody else, does you no good, and doesn't solve any problems.”  (Zig Ziglar)


Saturday, September 8, 2018

Tentang Curhat dan Bercanda


Beberapa hari terakhir saya mendapat komentar dari beberapa rekan, “Makanya jangan keseringan dengerin orang curhat sedih.. jangan terlalu serius..” atau, “Kamu keseringan denger cerita yang sedih-sedih sih.. jadi susah ketawa n gak bisa becanda.” Something like that. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali.

Ok, saya tau mereka mungkin cuma berseloroh. Mungkin karena di mata mereka saya terlihat berlagak ‘serius’ akhir-akhir ini, jarang ikutan becanda atau ketawa-ketawa. Mungkin juga saya dinilai sering bergaul dan banyak ngobrol dengan orang yang dianggap ‘serius’, yang kemudian dibahasakan dengan ‘sering dengerin cerita sedih’.

Dalam hati jadi tergelitik dan pengen nulis. Ada dua hal yang pengen saya komenin balik. Tapi berhubung kemungkinan akan panjang, jadinya lebih suka ditulis kayak gini deh.. wkwk. Sekalian lah buat bahan apdet blog, secara blog kok dah lumutan gini gak pernah diapdet-apdet.. hehe.

Pertama, soal ‘keseringan dengerin orang curhat sedih’.

Anggaplah saya sering ngobrol sama teman yang curhat. But what’s wrong dengan sering dengerin orang curhat? Atau cerita sedih? Apalagi kalo itu teman kita sendiri..

IMHO kalo kita punya teman tuh ya harapannya saat kita sedih atau punya masalah, dia bisa dan mau dengar cerita sedih kita.. tetap mau berteman di kala ups and down, gak cuma di saat-saat senang saja.

Nilai seorang teman justru bisa dilihat saat posisi kita lagi terpuruk atau di bawah. Di situ kita bisa tau, mana teman yang benar-benar teman, dan mana yang sekedar ‘teman numpang lewat’. Dan kalo saya sih pengennya jadi dan punya teman jenis yang pertama.

Terus terang selama ini lumayan sering jadi tempat curhat oleh beberapa teman. Padahal ya nggak pinter-pinter amat ngasih solusi lho, hehe. Alhamdulillah.. (eh maksudnya bukan bersyukur lihat teman kesusahan ya), berarti saya dianggap teman yang bisa dipercaya untuk menampung curhatan. Berarti saya dianggap teman yang nggak ‘ember’ yang suka menyebarluaskan cerita pribadi.  Aamiin.. insyaAllah.

Bukankah kalo pas kita punya masalah dan curhat ke seseorang, pengennya kan ya didengar, di’puk-puk’ dan di-keep curhatan itu agar jangan sampe ke mana-mana..? Just try to put myself in other’s shoes aja sih..

Sebenernya dari mendengar curhatan teman, kita juga bisa mengambil hikmah/pelajaran hidup, bisa lebih bersyukur, plus sebagai self-reminder juga.. jangan sampai kita jadi jumawa karena cobaan hidup bisa menimpa siapa saja. *aduh, sok bijak amat iniii.. hihi.

Ohya, kadang saya juga mendapat ide cerita setelah mendengar cerita sedih atau curhatan. Tapi itu dulu ding.. jaman masih lumayan produktif nulis, hehe. Ada beberapa cerpen di majalah dan beberapa artikel yang ide awalnya dapet dari curhatan-curhatan teman *ngaku.

Nah sekarang soal yang kedua, yaitu ungkapan ‘jangan terlalu serius’.

Hmm.. gimana ya. Sebenernya saya tuh orangnya fleksibel aja sih.. bisa serius, becanda juga sering. Cenderung suka becanda malah (walopun pendiem). Yang suka ngikutin status fb atau wa saya kayaknya tau (*jiaah.. sok pede), kalo isinya jarang yang serius amat dan sering bahas yang remeh-temeh, hehe.

Tapi nih ya, seiring umur yang udah gak muda lagi dan belajar dari tulisan-tulisan bijak / islami yang pernah saya baca, rasanya di umur yang sekarang ini udah waktunya mengurangi hal-hal konyol/guyonan lebay/having fun tanpa makna.

Bukannya trus jadi yang serius amat juga sih.. kita tau Islam juga tidak melarang tertawa atau bercanda, Rasulullah juga kadang bercengkerama dengan istri dan sahabat-sahabat beliau. Walopun ilmu saya belom sampai untuk bahas surah/hadis tentang hal ini.. tapi kayaknya kebanyakan bercanda juga nggak baik. Pernah dengar juga ada hadis yang menasihatkan kita untuk tidak terlalu bayak tertawa, karena akan mematikan hati.

Lagian inget umur aja sih.. kalo mau terlalu sering bercanda atau ikutan bercanda yang kebablasan kok ya rasanya udah gak pantes. Apalagi kalo becandanya malesin. Ah, kapan-kapan mau nulis juga ah tentang ini.. *kapan emangnya? pengen-pengen doang jarang eksekusi :D

Demikian ulasan kurang penting tentang curhatan dan becandaan. Udahan dulu ya.. ada teman yang mau curhat nih #eh ;)





*ilustrasi foto kurang nyambung dengan isi tulisan :D

Thursday, March 29, 2018

Cerpen Remaja di Gogirl! Magz: Ada Apa dengan Mama?

Horee.. setelah sekian lama, akhirnya ada lagi tulisan yang dimuat di majalah. Kali ini 'Ada Apa dengan Mama?', tayang di Gogirl! Weekend WebStory edisi 25 Maret 2018 (http://www.gogirl-weekend-web-story-ada-apa-dengan-mama)

Kirim tanggal 5 Desember 2017, dapet konfirmasi untuk tayang dari redaksi tanggal 14 Maret 2018. Jadi masa tunggunya sekitar 3 bulan-an.   

Happy reading!




ADA APA DENGAN MAMA?



Mama jadi aneh. Selera musiknya mendadak berubah. Musik-musik jadulnya sebangsa lagu-lagu Peter Cetera, Lionel Richie, kini berganti haluan.

Tuh, dengar saja suara dari kamar Mama.

Hello, hello, hello, how low.. Hello, hello, hello..!

Ha? Nggak salah tuh? Itu kan lirik lagu Smells Like Teen Spirit-nya Nirvana. Sejak kapan Mama suka rock alternatif? Nirvana pula. Jarang-jarang kan ibu-ibu yang sudah punya anak SMA suka Nirvana. Bukannya selera Mama tuh lagu-lagu pop yang mendayu-dayu? Yang jelas bukan aliran grunge macam Nirvana.

Bukannya dulu Mama juga suka sebel jika Oom Adit, adik Mama, nyetel musiknya keras-keras?

Kalau Oom Adit memang metal abis. Ketika masih kuliah dia sempat tinggal bersama kami. Dari Oom Adit pula aku mengenal Nirvana, Pearl Jam, dan band-band rock alternatif tahun 90-an lainnya. Memang tidak umum untuk gadis remaja seusiaku di jaman sekarang.

“Oom Adit, Mama sekarang aneh,” ketikku di BBM. “Masa’ Mama jadi suka Nirvana.”

D, lalu R. Setelah itu datang balasan dari Oom Adit. Emoticon ngakak! Aduh, kok malah tertawa sih.

“Mamamu lagi jatuh cinta kali...”

Ha? Oom Adit ngaco. Sembarangan aja dia jawabnya. Masa’ jatuh cinta selera musiknya malah jadi keras begitu. Lagian, Mama kan bukan anak remaja lagi yang baru mengenal cinta. Walaupun...

“Mungkin memang sudah saatnya Mbak Ratih jatuh cinta lagi,’ sambung Oom Adit di BBM.

Ya ya. Papa memang sudah lama tiada dan Mama seorang diri membesarkanku. Tapi, aku tak siap jika Mama beneran sedang jatuh cinta seperti kata Oom Adit barusan. Apalagi, selera musik Mama jadi aneh begini.

Aduh, Mamaaaa!
*****

Aku mengaduk-aduk jus alpukat di hadapanku dengan gelisah. Sudah sepuluh menit duduk di pojokan food court, tapi Oom Adit belum nongol juga.

Mataku tertumbuk pada seorang lelaki yang duduk tak jauh dari mejaku.  Perawakannya tegap, dengan kulit gelap dan rambut agak gondrong hampir menyentuh bahu. Umurnya kira-kira sebaya dengan Oom Adit. Penampilannya cuek. Dia memakai t-shirt hitam bergambar lukisan wajah Kurt Cobain. Vokalis Nirvana.

Gara-gara melihat gambar Kurt di kaos lelaki itu aku langsung kepikiran Mama. Untuk itulah aku di sini. Janjian dengan Oom Adit untuk mengobrol tentang perubahan Mama. Jangan-jangan lelaki itu yang bikin Mama jadi aneh selera musiknya.

Aduh, jangan deh. Jangan sampai Mama jatuh cinta dengan dia, atau dengan laki-laki seperti itu. Ah, pikiranku semakin ngawur. Aku kan baru melihat laki-laki itu. Lagian, belum tentu Mama sedang jatuh cinta. Apalagi sama anak muda.

“Hei, ngelamun aja!”

Ups, aku tak menyadari kedatangan Oom Adit. Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di sampingku.

“Bikin kaget aja deh.  Lama banget baru nongol sih Oom,” aku protes.

Oom Adit tertawa sambil menggeser kursi untuk duduk. Lama juga kami tidak ngobrol berdua. Dulu, ketika masih tinggal di rumah Mama, Oom Adit tempatku curhat, bertanya soal pelajaran sekolah, dan diskusi soal apa saja, termasuk musik.

Tak heran selera musikku agak-agak terpengaruh selera Oom Adit. Lumayan beda dibandingkan teman-teman di sekolah yang suka K-Pop. Aku ikut-ikutan suka Nirvana dan Pearl Jam. Makanya Mama suka sewot jika kami kompak menggelar konser mini di ruang tivi. Bising, kata Mama. Nah sekarang kok Mama jadi ikutan suka Nirvana?

“Masak iya sih Oom, Mama sedang jatuh cinta?” aku langsung ke pokok persoalan.

“Yaaa, mungkin saja kan. Jatuh cinta tuh bikin orang jadi aneh dan tiba-tiba berubah, Ven,” jawab Oom Adit.

“Tapi kalo perempuan jatuh cinta, biasanya kan justru suka hal-hal yang romantis Oom, termasuk lagu romantis. Nah ini, Mama justru kebalikannya. Musiknya jadi keras gitu.”

“Mungkin Mamamu jatuh cinta sama cowok metal, Ven,” jawab Oom Adit sambil nyengir sembari membuka-buka daftar menu.

Oom Adit ini. Ponakannya lagi bingung malah diledekin, bikin aku makin senewen.

“Jangan sampai jatuh cintanya sama brondong...,” aku menggumam sendiri.

Oom Adit terbahak keras sekali mendengar gumamanku. Sampai-sampai pria berkaos Kurt Cobain tadi menoleh ke arah kami. Uh, kepalaku tiba-tiba menjadi pening.

*****

Hari Minggu pagi. Aku masih berniat untuk melanjutkan tidur saat kudengar suara genjrang-genjreng musik dari kamar Mama. Aduuuh, pagi-pagi Mama sudah heboh aja. Aku kan masih ingin tidur setelah semalam pulang larut. Biasa, tugas kelompok sekaligus rapat OSIS di rumah Katrin.

With the lights out, it's less dangerous

Here we are now, entertain us

Hingar-bingar suara Kurt Cobain bersahut-sahutan dengan suara Mama. Duh, pagi-pagi sudah berisik.

Mau tak mau aku jadi bangun. Dengan malas kuseret langkahku ke dapur. Mendadak perutku jadi lapar.

“Eeh, belum cuci muka kok sudah mau sarapan aja,” tegur Mama.

“Mama mau pergi? Rapi amat pagi-pagi,” tanyaku tak nyambung dengan teguran Mama.

Kuamati penampilan Mama. Segar, dengan rok jeans dan blouse putih. Mama tampak jauh lebih muda daripada umur sebenarnya. Dandanannya simpel saja, hanya bedak dan sepulas tipis lipstik. Tidak menor seperti tante-tante seumurannya. Bisa jadi masih banyak lelaki muda di luar sana yang naksir Mama. Hush, aku membuang pikiran ngawurku yang lagi-lagi datang.

“Mau cuci mobil sebentar, habis itu langsung ke rumah Tante Dian. Ada desain baju yang harus didiskusikan,” jawab Mama sambil menuang jus jeruk dari pitcher ke gelasnya. Mama memang punya usaha butik bersama Tante Dian.

Dari kamar Mama, suara Kurt Cobain sudah berganti lagu. Kali ini “Come as You Are” versi unplugged.

“Mama sekarang jadi suka Nirvana juga?” Ups, aku terlalu to the point.

Glek. Kulihat Mama agak tersedak. Aku menatap Mama, menunggu jawaban. Tanpa komentar, Mama langsung beranjak dari kursi.

“Jangan lupa habis ini langsung mandi. Biar tak kucel begini,” ujar Mama mengacak rambutku dan bergegas pergi begitu saja.

Suara Kurt Cobain sudah berhenti. Tapi tanda tanya masih berkutat di benakku.

*****

Sepeninggal Mama, aku tak langsung mandi seperti pesan beliau. Dengan penasaran, aku masuk ke kamar Mama yang tak terkunci. Laptop masih dalam posisi terbuka, walaupun sudah off. Dari playlist di laptop biasanya Mama memutar lagu-lagu, termasuk lagu Nirvana akhir-akhir ini. Menggantikan musik melow milik Peter Cetera dan kawan-kawan.

Sempat terbersit niat untuk stalking isi laptop Mama, tapi urung kulakukan. ‘Hargai privasi orang lain’, nasihat Papa itu selalu kuingat dan kupegang.

Di sebelah laptop, foto Papa terpajang. Mungkinkah sudah saatnya Mama kini membutuhkan pendamping baru? Hiks, aku rasanya masih tak rela jika Mama jatuh cinta kepada lelaki lain selain Papa. Apalagi seperti... Tiba-tiba saja bayangan lelaki berkaos Kurt Cobain menyelinap di kepalaku.

No, no. Aku menggelengkan kepala sendiri. Sepertinya aku harus segera mandi sekaligus keramas, menghilangkan pikiran kacau itu. Lagian aku harus segera meluncur ke rumah Katrin. Masih ada beberapa tugas yang belum selesai.

*****

Langit telah menghitam ketika aku tiba di rumah. Rapat OSIS dan kegiatan ini-itu membuatku makin sering pulang malam.

Di meja makan kudapati hidangan makan malam yang sudah tersaji lengkap. Cumi masak kecap kesukaanku. Salut deh sama Mama. Biarpun punya bisnis sendiri tapi masih selalu sempat memasak untuk putri semata wayangnya ini.

Sayang aku sedang tak berselera makan. Lagipula sebelum pulang tadi Rio si ketua OSIS mentraktir kami semua makan bakso.

Setelah mandi dan ganti baju kusempatkan diri untuk menggado cumi itu tanpa nasi. Malam ini aku di rumah sendirian. Sore tadi kuterima sms dari Mama, mengabarkan beliau harus ke Yogya karena Oma masuk rumah sakit. Penyakit jantungnya kambuh lagi.

Pelan, kukunyah cumi kecap masakan Mama. Walau perutku sudah agak kenyang, tapi cumi ini tetap terasa nikmat di lidah. Masakan Mama memang tak ada duanya.

Ah, tiba-tiba aku kangen Mama.

*****

“Mamamu memang lagi kesepian, Ven.” Kalimat Tante Dian membuatku terkejut.

Siang itu aku mengunjungi rumah Tante Dian. Ada kain titipan Mama yang harus diserahkan. Kemarin Mama tak sempat membawa sendiri karena harus buru-buru mengejar pesawat ke Yogya.

“Mama kesepian? Lalu berusaha menjadi lebih muda dengan musik-musik itu, untuk menggaet cowok..?” aku menyemburkan kalimat itu dengan emosi.

Tante Dian malah tertawa. Memamerkan barisan gigi depannya yang berhiaskan behel. Aku jadi makin cemberut.

“Kok menggaet cowok sih..?” tanya Tante Dian, masih belum sepenuhnya berhenti tertawa.

“Kan nggak ada sejarahnya Mama suka musik rock, Tante. Lha ini tiba-tiba seleranya jadi aneh..”

“Kamu nggak suka, kalo Mamamu menyukai jenis musik yang sama denganmu..?” Kali ini wajah Tante Dian nampak serius. Tak ada tanda-tanda mau tertawa lagi.

“Maksud Tante..?”

“Maaf ya, kalo Tante lancang. Tapi Mamamu sebenarnya merasa kehilangan kamu, Vena. Gadis kecilnya kini telah menjadi gadis remaja SMA yang super sibuk. Jadi, Mamamu bukan kesepian yang enggak-enggak seperti bayanganmu. Dia hanya ingin kalian dekat lagi, seperti dulu,” jelas Tante Dian panjang lebar.

Aku menunduk. Jadi itu sebabnya mengapa selera musik Mama jadi berubah belakangan ini..? Sesederhana itu..?

Kuakui, akhir-akhir ini aku memang sibuk sendiri. Sering pulang telat, sampai rumah langsung masuk kamar. Kalau pagi, sarapan juga sering buru-buru. Hari libur, seringnya bangun siang dan langsung capcus ke rumah Katrin atau teman yang lain. Tak ada lagi obrolan hangat di meja makan bersama Mama. Apalagi nonton tivi sama-sama.

Kutepuk dahiku sendiri. Selama ini sudah mengabaikan Mama, dan belakangan malah berprasangka buruk terhadap beliau. Sampai-sampai membayangkan yang tidak-tidak. Duh, maafkan Vena, Mam..

“Jadi.. Mama bukannya sedang jatuh cinta lagi kan, Tan..?” tanyaku memastikan.

Tante Dian tertawa lagi. Kali ini sambil menggeleng-geleng. Lucu sekali kelihatannya. Mau tak mau aku jadi ikutan tertawa.

Aku janji, setelah ini bakal lebih sering meluangkan waktu bersama-sama Mama. Seperti dulu lagi. (TAMAT)