Pages

Thursday, October 5, 2017

Tentang Sebuah Rasa



“Berjanjilah untukku, Ra.”

“Apa?”

“Please promise me, always be strong..”

Pagi yang gerimis di Rotterdam Centraal. Ra menunduk. Jemarinya yang terbungkus sarung tangan ungu tua masih menggenggam erat pegangan koper. Pandangannya terpaku pada sepatu boots Aryo, yang hanya seinci dari roda kopernya.

Masih ada waktu 10 menit sebelum kereta menuju Schiphol datang.

***

Seminggu yang lalu.

Tak pernah disangka Ra, dia akan bertemu lagi dengan Aryo setelah sekian lama. Bertahun-tahun berpisah tanpa kabar, dan kini mereka bertemu lagi di acara Cultural Night di Delft.

Aryo. Lelaki itu tak jauh berubah semenjak enam tahun lalu. Semenjak Ra kehilangan jejaknya, setelah Ra memutuskan untuk menerima pinangan Harris. 

Mungkinkah Aryo sakit hati? Tapi mengapa harus sakit hati, sedangkan di antara mereka tak pernah ada kejelasan status. Kekasih bukan, apalagi tunangan. 

Mereka ‘hanya’ berteman baik. Aryo selalu ada ketika Ra membutuhkan. Namun sebagai perempuan, Ra juga butuh kepastian. Dan Ra mendapatkannya dari Harris.

“Apa kabarmu?” tanya Aryo, ketika mereka akhirnya duduk semeja. Memisahkan diri dari keramaian.

“Yaah, seperti yang kau lihat. Bagaimana? Kelihatan sehat kan?” Ra mengangkat kedua alis, sambil tersenyum. Berusaha terlihat ceria.

Lalu obrolan pun mengalir begitu saja. Aryo masih sehebat dulu. Karirnya melesat, menerbangkannya dari satu negara ke negara lainnya. Hingga takdir mempertemukan mereka di acara Cultural Night malam itu di Delft. 

Baru sebulan terakhir Aryo memulai karirnya sebagai peneliti di kampus setempat. Sementara Ra justru akan kembali ke Indonesia setelah dua bulan mengikuti shortcourse di Erasmus University.

Aryo tak menyinggung-nyinggung soal keluarga. Kebetulan, karena Ra juga tak ingin membahas soal satu ini.

Ketika Ra harus pamit kembali ke Rotterdam malam itu, Aryo menggumam pelan, “Aku tahu bagaimana Harris memperlakukanmu.” 

Membuat Ra tertegun sesaat, sebelum akhirnya bergegas mengejar rombongan teman-temannya.

Ah, Harris. Ra masih bisa mengingat rasa nyeri itu. Bahkan lebam di pinggang kirinya masih membekas hingga kini. Tapi semua luka di badan sungguh tak seberapa dibandingkan lara yang tertoreh hati: Harris dan wanita-wanitanya.

 “Bagaimana Aryo bisa tau Rin? Kamu yang cerita?” jemari Ra lincah mengetik di atas kibor laptop sesampainya kembali di apartemen.

Kotak dialog di depannya langsung berhias emoticon nyengir. Khas Airin, sahabat karibnya sejak SMP.

“Aaah, jadi akhirnya kalian ketemu juga di Belanda?” balas Airin.

“Memangnya kenapa kalo ketemu? Lagian seminggu lagi aku sudah harus balik ke Indo.”

“Dia masih sendiri Ra. Ayolah Ra, sampai kapan kamu bertahan?”

Kalimat terakhir Airin membuat Ra termangu. Sahabatnya tak pernah tahu, masalahnya tak sesederhana itu. Ada banyak hati yang harus dijaga. Termasuk milik Aubrey, putri semata wayangnya.

***

Ra sungguh terkejut ketika pagi itu Aryo muncul di pintu apartemennya. Tepat ketika Ra mengemasi kopernya, bersiap menuju stasiun. Mengingatkan Ra pada masa-masa dulu, betapa Aryo selalu ada untuknya.

Dan di sinilah mereka sekarang. Stasiun Rotterdam Centraal. 10 menit teramat singkat untuk sebuah perpisahan yang entah kapan ujungnya.

“Janji ya Ra, kamu akan selalu jadi perempuan kuat, seperti Ra yang kukenal...,” ulang Aryo.

Mata Ra menghangat. Tempias gerimis semakin deras, membasahi jaket tebal dan boots mereka.

Meski t’lah jauh ke mana
kau coba ‘tuk sembunyi
Satu saat nanti akan kembali... jua
oleh cinta



***




*(Tulisan ini saya ikutkan di audisi Project tentang Kita - Flash Fiction, 2014)


Saya suka genre flash fiction (semacam cerita pendek -- tapi lebih pendek dari cerpen) yang bercirikan twist-ending, atau bisa juga open-ending alias ending yang menggantung.

Nah, saya biasanya memang suka ngasih ending yg nggantung itu.. hehe. Jadi ada rasa penasaran-penasarannya :D

Btw project ini adalah semacam tribute to KLa Project. Saya ngambil inspirasi dari lagu KLa yang 'Meski Tlah Jauh'.
Walopun saya sebenernya ngefansnya ke Sheila on 7 sih.. hihi.

Ide cerita dari ngarang saja. Tapi settingnya terus terang terinspirasi dari suasana ketika sempat tinggal di NL.

Misal saat hadir di acara cultural night di Delft.. dan terutama di stasiun Rotterdam pas nganterin rombongan teman yang akan kembali ke Indonesia setelah selesai shortcourse. Plus ketika kami mau back for good.. Waktu itu kami rame-rame geret koper besar-besar dari apartemen ke halte tram, trus dari halte ke stasiun, hehe. Dan cuacanya mendung gerimis..

Saat itu saya sudah membayangkan, rasanya bagus dijadikan setting cerita.
Stasiun, gerimis, dan farewell.. such a nice combination for a love story, no? <3

Setelah kembali di Indo beberapa lama, baru cerita ini saya tulis. Kebetulan pas ada event project itu tadi. Ditambah beberapa curhatan teman tentang mantan dan CLBK.. hehe. Dengan modifikasi sana-sini, jadilah cerita ini :D

Hope everyone enjoying it, ya.. :)