Pages

Friday, December 31, 2010

just a little note in the end of 2010


Nggak kerasa libur 2 minggu dah hampir kelar. Dua minggu yang cukup membosankan karena cuma di ‘kos’ aja.. huhu. Rencana buat liburan ke Jerman en Belgia bareng Lunna – temen SMAku yang sekarang menetap di Belanda – batal karena doi nggak jadi dapet cuti dari kantornya. Plus cuaca yang agak-agak kurang mendukung di winter ini. Suami Lunna bilang bahaya nyetir di atas salju yang tebelnya lumayan.

Sementara mengeram di ‘kos’ aja ternyata nggak bikin aku jadi produktif :( Cuma paper 2 biji aja yang alhamdulillah udah hampir kelar, tinggal dikasih finishing touch aja. Sementara data tesis belum kuotak-atik lagi. Guilty feeling juga sih.. tapi kok rasanya otak susah banget buat kompromi.. :(

Dari jendela kamarku, langit Rotterdam keliatan suram. Kabut menggantung sejak tadi pagi. Bikin resolusi apa ya, di taun baru yang bentar lagi..? Ya Allah, sekarang aku cuma pengen kuliahku cepet selesai dengan baik dan cepet pulang ke Indonesia, ngumpul lagi sama keluarga.. terutama anak-anak. Amin..

Wednesday, December 29, 2010

Crazy-Snowy Bike Tour


“Wah, hebat Mbak Ofi mau sepedaan ke sini. Rotterdam-Delft jauh lagee”

Haha, begitulah komen Fikri -- mantan adek kelas di Sipil UGM yang sekarang lagi kuliah di Delft -- ketika tau rencanaku untuk jalan-jalan ke Delft naik sepeda dari Rotterdam bareng teman-teman. Aku dan beberapa teman memang sempat berencana sepedaan ke Delft.
“Nggak jauh kok mbak, cuma lurus aja. Sekitar 12 km”, begitu kata mas Imam, salah seorang pencetus ide sepedaan ini.

Dan akhirnya, di sore hari yg lumayan ‘hangat’ (4 derajat celcius di musim winter, tehitung hangat di sini) dalam obrolan ringan sepanjang perjalanan ke centrum untuk sekedar cuci mata (ini dalam rangka melepas kecewa selepas nonton kekalahan 0-3 Indonesia VS Malaysia), deal untuk sepedaan Rotterdam-Delft pun tercapai. Kami sepakat untuk memulai petualangan kami keesokan harinya.

Senin 27 Desember 2010. Jam 9 pagi, waktu yang disepakati telah tiba. Sayang, kabut di luar lumayan tebal. Setelah YM-an sana sini, perjalanan ditunda hingga satu jam setelahnya. Rombongan kami berjumlah 9 orang, minus satu orang dari rencana semula karena ada yang tiba-tiba membatalkan diri (ini ungkapan halus dari “ngambek”, seperti yg teman2 serombongan bilang :D).

Perjalanan awal agak kurang mulus. Lapisan salju yang lumayan tebal di beberapa ruas jalan sempat bikin keder. Belum lagi navigator kami yang agaknya “kurang lincah” membaca peta dari gadget barunya (halo Samsung Galaxy.. hehe ). Walhasil kami sempat beberapa kali "menyesuaikan jalan" (kalo yang ini ungkapan halus dari “nyasar” :D, mengkombinasikan petunjuk dari si gadget, rambu-rambu di jalan, serta hasil nanya-nanya dari orang di jalan).

Oya, aku terkesan juga sama bule-bule di sini. Mereka rata-rata (menurutku) ramah, selalu menjawab dengan panjang lebar kalo ditanya-tanya. Di sepanjang perjalanan, kadang ketemu sama bule yang jalan-jalan, sambil bawa anjing atau kuda (antara Rotterdam-Delft kayaknya ada semacam peternakan kuda gitu). Mereka ramah-ramah dengan senyuman dan sapaan “hai..” ke kita-kita. Aku jadi kebawa pede untuk kadang menyapa mereka duluan :D.

Hamparan putih terbentang di sepanjang sisi kiri-kanan jalan. Danau dan aliran sungai yang membeku, serta padang yang permukaannya memutih oleh salju mendominasi perjalanan kami. Beberapa kali perjalanan di-pause karena hasrat ingin foto-foto yang tak tertahankan :D. Setelah hampir desperado karena hawa dingin -4 derajat dan windchill yang beberapa derajat lebih rendah, nyampe juga kami di “Rotterdam coret” dan akhirnya Delft. Melewati kampus TU Delft yang terkenal itu (pas melewati Civil Engineering building, jadi pengen kuliah di sana dan merasa salah jurusan kuliah di IHS-Erasmus, hehe), dan.. this is it! Sampelah kami di centrumnya Delft. Nggak terlalu besar seperti Rotterdam, dengan staadhuis dan gereja di pojok-pojoknya serta pohon natal super besar di tengah-tengahnya. Plus sederet toko-toko souvenir. Ya, menurut yang aku dengar sih, kalo mau nyari souvenir-souvenir Belanda dengan harga agak-agak murah, Delft-lah tempatnya. Di centrum itu, kami juga sempat tergeli-geli mendengar alunan lagu Jingle Bell yang dimainkan dengan irama berbau dangdut oleh sekelompok pemusik jalanan.

Tapiii, menurut teman-teman serombongan (siapa ya? :D ) centrumnya bukan di situ. Ada satu centrum lagi di mana tempat souvenir-souvenir murah sesungguhnya ‘bercokol’. Hmm.. benarkah..? :D. So, kami cuma sebentar aja liat-liat barang di situ sambil sekedar menghangatkan badan yang mati rasa setelah digeber -4 derajat sepanjang sekitar 14 km perjalanan. Belanja souvenirnya nanti, di “another centrum” aja yang katanya lebih murah itu.

Berhubung perut sudah keroncongan, maka diputuskanlah bahwa kami harus mencari tempat dulu untuk membuka bekal lunch kami. Setelah parkir sepeda di Staadhuis, menghangatkan diri bentar di dalam Staadhuis, berunding sana-berunding sini, plus nyari wangsit dari si gadget baru (hihi), kami memutuskan untuk lunch di resto Turki terdekat. Dan karena nggak sopan banget kalo kami cuma numpang makan doang di restoran dengan kotak bekal dari rumah, beberapa porsi pizza turki+lumpia pun dipesan. Di resto itu kami sempatkan juga untuk ke toilet, lumayan, mumpung gratis :D

Usai makan, tibalah waktu untuk.. belanja?? Oh, ternyata belum. Sebagai umat Islam yang taat, kami harus solat dulu dong. Di resto Turki tadi kami sempat nanya mas pelayannya, di mana tempat solat terdekat. Ternyata sepertinya petunjuk yang diberikan oleh mas Turki tadi ngawur adanya. Seorang bule yang kami tanya bilang, bahwa untuk ke masjid terdekat kita masih harus naik tram.

“Is it close..?” tanya salah seorang dari kami.

“Yes, if you get there by tram. But no, if you’re walking.”

O’o. Maka, kami pun berunding lagi. Akhirnya sepakat bahwa kami balik lagi ke centrum. Mbak Eka dan Pak Rizal sempat belanja lukisan “the Girl with Pearl Earring” yang terkenal itu di salah satu toko (eh, atau museum ya, itu? :D). Habis itu kami ngambil sepeda masing-masing dan nyari “another centrum” seperti yang dibilang di atas tadi, yang katanya toko-toko souvenirnya lebih murah. Pas nyampe di depan kampus IHE-UNESCO (tempat Fikri kuliah ya Fik?) sempat ada perdebatan, mau lanjut nyari “another centrum” atau nyari tempat sholat, berhubung waktu sudah masuk asar dan rentang waktu dzuhur-asar-maghrib lumayan singkat di musim winter ini. Kebetulan ada 2 mahasiswa Indonesia di halaman kampus, maka kamipun menanyakan lokasi masjid dan “another centrum” itu. Hahaha, ternyata nggak ada centrum mana-mana lagi selain centrum yang pertama kita kunjungin itu. Oalah.. Kami pun kembali berdebat (sigh): mau balik ke centrum lagi dan belanja souvenir, atau langsung ke masjid.

Walaupun sempat ada wacana (hayah!) bahwa rombongan dibagi dua saja: satu ke centrum, satunya lagi ke masjid, tapi akhirnya diputuskan bahwa rombongan jangan sampe terpecah. Kami ke centrum dulu (balik lagi!), belanja bentar di sana, abis itu ke masjid trus pulang. Okay, kata sepakat tercapai, kami balik lagi ke centrum yang tadi (yang sesungguhnya dari awal pun kita udah nemuin dan udah nyampe sono), parkir sepeda lagi, dan finally, belanja. Horee! But, oh no.. ketua rombongan memutuskan waktu belanja souvenir cuma 15 menit! Hiks, teganyaaa...!

Kelar acara belanja yang tidak manusiawi itu (hihi), meluncurlah kami ke mesjid Turki sesuai arahan dari mas-mas mahasiswa Indonesia yang kami temui di depan kampus tadi. Masjidnya lumayan besar, walopun toiletnya gelap sih, mungkin saklarnya lagi diperbaiki ya. Oya, anehnya di bagian cewek, cuma ada sajadah-sajadah. Nggak ada mukena sebiji pun.

Setelah solat yang dijamak itu, kami pun bersiap pulang. Waktu itu sekitar pukul 4 sore (kayaknya malah sudah jam ½ 5, brarti dah masuk magrib dong ya :D), tapi langit sudah temaram. Perjalanan pulang belum ada seperempatnya, tapi Deary mulai mengeluh capek dan sepedanya berat banget. Jadilah kami bolak balik brenti untuk istirahat di tengah hawa dingin, plus ada acara bongkar-bongkar sepeda doi (hmm, salut buat kekompakan kita ya guys!). Kami pun sempat mampir ke bakery shop untuk istirahat yang sesungguhnya (maksudnya bukan cuma ngetemin sepeda bentar di tengah jalan sambil tetep kedinginan).

Perjalanan pulang terasa lebih lancar, walaupun beberapa kali berhenti gara-gara Deary yang kecapekan tapi nggak ada acara nyasar-nyasar lagi (hehe, kalo nyasar lagi, kebangetan dong ya). Langit pun makin gelap. Sampai akhirnya.. tadaa..!! Pemandangan Albert Heijn dan Bas supermarket yang berdampingan sudah di depan mata! Artinya nggak sampe lima menit lagi kami nyampe di Weenapad tercinta. Ternyata kami lewat rute yang agak berbeda dibandingin pas berangkat tadi. Maklumlah, aku yang lemah banget di spasial ini suka susah banget ngapalin rute :D.

Alhamdulillah, kami tiba di Weenapad -- “rumah” kami -- dengan selamat, sekitar pukul ½ 7 malam. Kulit muka rasanya kebas terlalu lama terpapar hawa dingin. Tapi walaupun capek, kedinginan, kurang puas belanja plus banyak berunding (hihi), perjalanan kali ini benar-benar berkesan. Bayangkan, sepedaan 2x14 km, di suhu -4 derajat celcius, salju di mana-mana.. nekat! But, hey.. we did it!! :D

(To Pak Adhi & his phenomenal Samsung Galaxy :D, Pak Rizaldi, Mas Imam, Mas Heri, Pak Nardi, Mbak Eka, Mbak Vivi, en Deary si Miss lebay nan heboh.. what a great team and trip!)

5 Things I Miss about Indonesia

Iseng menuliskan 5 hal yg aku kangen dari Indonesia, yang nggak (belum?) bisa kutemukan di sini (tentu saja, hal ini di luar keluarga ya.. karena di atas segalanya, yg paling kurindukan adalah keluarga, terutama anak-anakku: Nadaa dan Hilmy).

1. Suara adzan life dari mesjid

Di Indonesia, suara adzan di waktu subuh kadang (sering? :D) kuabaikan begitu saja karena posisi tidur lagi wuenak-wuenaknya, atau adegan mimpi sangatlah seru sehingga sayang kalau di-cut begitu saja :D. Adzan maghrib jg kadang lewat gara-gara sinetron Ketika Cinta Bertasbih misalnya (nah lho.. sinetron islami lho ini). Sedangkan alasan paling tepat untuk menunda sholat ketika adzan isya berkumandang adalah: rentang waktu untuk sholat isya yang panjang. Ujung-ujungnya sholat isya-lah diriku ini dengan terkantuk-kantuk karena mendahulukan kerjaan ‘yang lebih penting’ (astaghfirullah.. jangan ditiru ya teman-teman :D).

Betapa sering mengabaikan suara adzan ketika di Indonesia. Padahal betapa beruntungnya aku kala itu karena selalu diingatkan untuk sholat 5 waktu. Nggak seperti di sini yang harus selalu buka-buka jadwal sholat dan berusaha mengingatnya.

Sekarang aku jadi lebih menyadari.. bahwa mendengar suara adzan subuh bersahut-sahutan di pagi hari ketika kita membuka mata adalah suatu anugerah. Indah banget. Allahu Akbar…

2. Toilet ‘basah’

Kayak lumpia semarang aja ya, ada yang basah - ada yg kering. Tapi suer, how I miss “Indonesian -style toilets” very much.. Toilet yang ada bak-nya, ada ember dan gayungnya, minimal ada slang air buat ‘bersih-bersih’ lah. Di Londo sini toiletnya benar-benar kering kerontang. Nggak ada airnya, kecuali air di dalam kloset. Bahkan nggak ada floor drain-nya (itu lho, lubang-lubang di pojokan lantai untuk menyalurkan air buangan). Beruntung kalau di dalam toilet tersedia wastafel dengan kran airnya, aku bisa bilas-bilas dan bersuci dengan agak leluasa. Seringnya sih cuma ada toilet tissue. Diriku yang asli wong ndeso ini mana bisa c***k dengan kertas, hehe. Be-a-ka aja repot, apalagi kalo be-a-be, wuaaahh.. masak dilap pake tisu doang.. :D

Nah, supaya bisa bersuci dengan aman-damai-sentosa di dalam toilet yang sepertinya tidak didesain khusus untukku ini, ke mana-mana aku selalu bawa botol aqua kosong, untuk diisi air di wastafel yg biasanya tersedia di luar pintu toilet (thanks to Tashneem atas idenya). Sementara di rumah, asesoris toilet kami lengkapi dengan pot penyiram bunga ukuran kecil untuk menampung air dari wastafel dan untuk membilas/’bersih-bersih’.

Tapi tetap saja, toilet-toilet yang kering en kinclong ini membuat kenikmatan dan kemerdekaan p***s rasanya jadi berkurang, apalagi kalo pas kebelet banget. Nggak bisa los, harus pinter-pinter ngatur ‘debit air’ yang keluar, karena kalo jor-joran sampe keluar bunyi kayak lagi nggoreng tempe pastilah cairan kuning itu nyiprat ke sana ke mari dan mbleber ke mana-mana, menodai kesucian lantai toilet :D. Mana nggak ada floor drain-nya lagi.. air mau lari ke mana coba? Padahal nih ya, batas bawah hawa Londo yang sekitar 3 - 5 derajat cukup sukses membuatku ‘beser’, dan di toilet yang menyebalkan itu aku nggak bisa melepaskan hasrat dengan leluasa (ih, bahasane kok ngeri). Huhu, beginilah nasib wong ndeso yang nekad keluyuran sampe ke Londo.. mau p***s aja ribet :(

3. Penjual gorengan

Pisang goreng, mendoan, tahu isi, bakwan dan teman-temannya pastilah nyam-nyam banget untuk dinikmati di tengah hawa dingin Rotterdam yang membuat frekuensi laparku menjadi berlipat dari biasanya. Sayangnya di sini nggak ada penjualnya. Mau bikin sendiri selain ribet, harga bahannya juga mahal (bilang aja males.. :D). Jenis gorengan yang dijual di sini yang paling sering kujumpai adalah lumpia&pastel ayam ala vietnam, ada juga kentang goreng sebangsa french fries tapi agak lebih besar-besar potongannya yang di sini disebut patat. Kedua jenis gorengan ini dijual di kedai-kedai portable di pinggir jalan.

Pernah setelah capek keliling-keliling aku dan beberapa teman berniat membeli lumpia di gerobak orang vietnam. Sebenarnya aku agak sedikit ragu.. lumpia ini beneran halal apa nggak. Mikir-mikir.. isinya ayam sih, tapi nggorengnya campur bahan lain atau nggak.. minyaknya pake minyak apa. Tapi berhubung rasa lapar telah begitu mendera di tengah hawa dingin yang menyiksa, ditambah profil lumpia di depan mata yang begitu menggoda (hehe), dengan membaca bismillah kumakan juga lumpia seharga 0.9 euro itu. Baru dua gigitan..tiba-tiba ada pemberitahuan dari bapak-bapak di sebelah (kayaknya orang Maroko), “no eat.. no eat..!” . Refleks kami segera ber’hoek-hoek’ di tengah jalan. Benar juga intuisiku. Yaah.. melayang deh 0.9 euro sia-sia.. Astaghfirullah.. Janji, lain kali harus lebih hati-hati.

Beberapa hari kemudian, kami nemu gerobak lumpia serupa bersertifikat halal. Harga lumpia per biji-nya 1 euro. Ada juga gerai ayam macam KFC yg bersertifikat halal, sepertinya milik orang Turki, judulnya Chicken Express. Setangkup beef burger dihargai 1 euro. Nikmat di mulut, kenyang di perut, nyaman di kantong, tenang di hati. Alhamdulillah…

4. Tukang tambal&pompa ban, bengkel pinggir jalan

Sebagai pengendara sepeda di Rotterdam, ketenangan dan ketentraman batinku berada di level yang sangat rendah dibandingkan ketika berkarir sebagai pengendara motor di Jogja dan Makassar :D. Ya, meski keadaan lalu-lintas di Indonesia seringkali dicemooh -- yang ruwet-lah, sering macet, kacau-balau, dsb -- tapi bagiku keberadaan tukang tambal/pompa ban dan bengkel-bengkel kecil disepanjang jalan di Indonesia mengalahkan segala keteraturan sistem transportasi di sini (maafkan diriku yang naif ini, wahai para ahli urban management, transportation system, etc).

Tempo hari salah seorang teman terpaksa harus menginapkan sepeda di kampus gara-gara bannya kempes. Mau dituntun pulang, jaraknya lumayan bikin kaki gempor. Sementara di jalanan tidak ada satu pun penjual jasa pompa ban. Nggak terbayang kalo naik motor di sini ban motor tiba-tiba kempes di tengah jalan. Coba kalau TKP-nya berada di Jalan Kaliurang Km. 5 Yogyakarta.. tinggal dituntun dikit pasti nemu tukang tambal/pompa ban, atau bengkel-bengkel kecil di sepanjang jalan yang bisa nolongin. Minimal ada mas-mas baik hati yang berempati nanyain kenapa kok motornya dituntun (hihi, nggak nyambung).

5. Tukang becak

Di hari-hari awal sebagai new comer di Rotterdam dan belum punya sepeda, ke mana-mana aku selalu jalan kaki. Kalaupun naik tram/metro, untuk menuju halte / stasiun harus jalan kaki dulu. Kalau di Indonesia dulu terbiasa ke mana-mana naik motor dan jarang jalan kaki, di sini aku harus membiasakan diri berjalan kaki dengan irama cepat – beda dengan gaya jalan sewaktu di Indonesia, santai – supaya tidak membeku kedinginan di jalan. Semua orang di sini seperti dikejar setan, jalannya cepet-cepet banget. Ternyata bukan setan yang mengejar mereka, tapi terpaan hawa dingin yang mau nggak mau membuat kita harus bergerak cepat.

Program tour through Rotterdam di minggu pertama kuliah sempat membuatku tersiksa. Dipandu oleh mas bule yang ramah, perjalanan tour yang melewati beberapa landmark kota Rotterdam seperti Stadhuis (gedung pemerintahan), Cubic House/Kubus Woningen (deretan rumah berbentuk kubus yang melintang 45 derajat), Bibliotheek (perpustakaan kota), Maritiem Museum, Pathe (gedung bioskop), De Doelen (semacam tempat konser dan gedung pertemuan) serta beberapa tempat lainnya sempat membuat kakiku pegel sepegel-pegelnya. Kakiku rasanya sudah hampir patah ketika tour berakhir di Rotterdam Central Station. Padahal jarak stasiun ke Weenapad – ‘kos2an’ku – masih lumayan panjang untuk ditempuh dengan kondisi kaki yang mengharu-biru :D.

Deretan becak yang sedang menunggu penumpang di depan Mirota Kampus terbayang di benakku. Ingat betapa bapak-bapak tukang becak itu sampe ketiduran di dalam becaknya. Oh pak tukang becak, really wish you were here…

Ya, itulah sebagian hal-hal yang sepertinya sepele di Indonesia, tapi benar-benar kurindukan kehadirannya di sini (cieee..). Sebenarnya masih ada lagi beberapa, seperti tukang jajan keliling (sebangsa sate, bakso,mie ayam, somay dan teman-temannya.. pas banget buat mengganjal perut dengan praktis dan secepat kilat), penjual sayur keliling, tempat fotokopi dan cetak foto murah yg berjejeran sepanjang Selokan Mataram dan Jalan Kaliurang, tempat permak jeans (secara di sini pakaian yg dijual kebanyakan berukuran raksasa), tukang sol sepatu…

O Indonesia, you’re truly “user-friendly” for me..!! :D
(Rotterdam, Oct 19 2010)

Miss Parmelia, We Got Locked Out!!

Berbentuk segi empat kecil seperti kartu ATM, ada suatu benda yang sudah seperti ‘jimat’ saja bagi para penghuni Weenapad, apartemen kami. Selalu dibawa ke manapun pergi, nggak boleh ketinggalan di kamar, apalagi kalo sampe hilang. Bisa panjang urusannya. Untuk jaga2 biar nggak kelupaan, beberapa penghuni Weenapad memasangnya di gantungan untuk kemudian dikalungkan ke leher, termasuk aku.

Benda tersebut adalah kunci kamar kami, para penghuni Weenapad dormitory. Bukan hanya berfungsi sbg pintu kamar saja, tapi kunci tsb dipakai untuk mengakses hampir semua pintu di Weenapad, dari mulai pintu masuk apartemen (main entrance), pintu penghubung ke lift, pintu ke common room dan pintu unit apartemen ybs (umumnya satu unit terdiri dari 3 kamar). Namun tentu saja, tiap2 kamar pribadi hanya bisa diakses oleh satu kunci saja, yaitu kunci si penghuni kamar ybs.

Dengan sensor magnetik, kami cukup menggesekkan kunci tersebut ke alat yg terpasang di tiap2 pintu untuk membuka pintu yang dimaksud. Jika pintu sudah terbuka dan kita menutup pintu hingga handle pintu terpasang lagi (maksudnya sampai bunyi ‘jeglek’, gitu :D) maka pintu akan otomatis terkunci lagi. Nggak masalah kalau kita sudah berada di dalam ruangan, karena kita langsung bisa membuka pintu dari dalam tanpa harus menggunakan kunci, cukup dengan memutar handle pintu saja. Tapi hati2 kalau kita ‘menjeglekkan’ pintu dari luar, untuk membukanya lagi kita harus menggunakan kunci. So, jangan sampe menutup pintu kamar dari luar kalau kuncinya masih ada di dalam kamar, karena itu berarti terkunci di luar dan nggak bisa masuk kamar sendiri (weleh… ribet amat ya, penjelasan tentang kunci ini :D).

At least sudah ada 4 teman dari Indonesia yg mengalami kejadian menyedihkan itu, alias nggak bisa masuk ke kamar sendiri gara2 kuncinya tertinggal di dalam :D (dua di antara mereka terkunci di luar untuk kedua kalinya alias sudah berlaku denda 5 euro). Wajar dan ‘manusiawi’ menurutku, karena beberapa di antara kita – termasuk aku -- terbiasa langsung menutup pintu begitu keluar dari kamar, tanpa memperhatikan apakah kunci kamar terbawa/‘melekat di badan’ atau nggak. Apalagi toilet ada di luar kamar, belum lagi kalau mau ke dapur untuk makan atau ngambil cemilan. Nggak enak banget kalau setelah selesai pipis di toilet nggak bisa masuk kamar lagi karena pintunya nggak sengaja tertutup sedangkan kita nggak bawa kunci. Semua ‘perkakas’ ada di kamar, gitu loh. Terlebih kalo kejadian itu udah malam dan mau tidur, atau di pagi hari ketika udah siap menuju kampus tapi tas dan segala macem masih di dalam (belum pake jilbab pula -- seperti yang dialami seorang teman baru2 ini :D).

That’s why banyak di antara kami yang mensiasatinya dengan cara melubangi kartu/kunci tersebut (tentu saja lubangnya nggak pas di sensor magnetiknya) untuk dipasangi gantungan yang bisa dikalungkan ke leher. Tapi ternyata cara tsb nggak cukup ampuh karena ternyata ada teman yg masih bisa jadi ‘korban’ juga walaupun sudah punya kalung kunci. Makanya aku jadi makin parno saja melihat fenomena tersebut (halah!! :D). Ke dapur dan ke toilet selalu pake ‘jimat’, bahkan kadang sampe tidur pun masih kalungan jimat. Tapi karena takut jimatnya kenapa-napa kalo kena air, atau nyangkut ke mana-mana karena gantungannya cukup panjang, seringkali kalung kunci itu aku gantung di handle pintu kamar sisi sebelah luar, atau di gagang telepon di dekat toilet. Pernah juga di awal2 di Weena, sebelum pake kalung gantungan, tiap kali mau ke toilet malam2 sedangkan 2 roommate yg lain udah pada tidur, kuncinya aku taruh di dalam sepatu di luar kamar. Takut ada orang asing yg tiba2 masuk sementara aku lg di toilet dan pintu kamar dalam keadaan terbuka..serem.. (mungkin nggak sih?? Pintu unit apartemen kan terkunci.. Terlalu parno kali ya).

Trus kalo udah kejadian gimana dong..? Tenang, ada Ms Parmelia Hussain. Beliau ini adalah student warden di Weenapad, dan kami bisa meminta bantuannya untuk membukakan pintu. It’s free of charge. Tapi sayangnya bantuan sukarela tersebut hanya berlaku just for the first time. Untuk kali kedua dan seterusnya it will cost us 5 euro. Lumayan juga ya..? Itu untuk ‘memaksa’ kita supaya lebih berhati-hati dan tidak teledor. Kasian juga kan Ms Parmelia yang cantik itu kalo sering2 diganggu di luar jam kerjanya. Oya, though she is living on the 12th floor of the dormitory, she’s not fulltime available. Office hours-nya cuma hari Senin dan Kamis malam, jam 7.30 - 8.00, di unit apartemennya di lantai 12 itu. Di luar jam tsb doi nggak mau diganggu, kecuali untuk emergency cases (being locked out is one of emergency cases).

Yaa begitulah sedikit cerita tentang ‘kunci mengunci’ di sini. Sedikit culture shock juga kali ya, kejadian being locked out ini. Belum terbiasa sih.. kos2an di Pogung atau Jakal kan nggak ada yg pake gini2an :D. Tapi aku salut sama Ms Parmelia. Suatu kali salah satu roommate ketiban apes pagi2 sebelum subuh, kami segera naik ke lantai 12 untuk minta bantuannya. Walau dengan wajah mengantuk baru bangun tidur, doi menyambut kami dengan ramah. Nggak ada tampang bete sama sekali saat dia ngasih kunci cadangan sambil wanti2 untuk segera mengembalikan begitu kamar berhasil terbuka. Udah cantik, baik pula.. bener2 calon istri solihah.. hehe. Dank u wel, Ms Parmelia..!

Rotterdam, Oct 9 2010

My First Day in Campus

“You Indonesian students, are just like brothers and sisters. All of you look alike. And you always go together… all together.. Everywhere!!”

Hahaha.. aku jadi geli sendiri sama kalimat yang dibilang Justine, teman baruku si cewek heboh asal Rwanda, persis di hari pertama kami masuk kampus. Jadwal hari ini, Rabu 6 Oktober adalah Opening Events of the M.Sc. Programme in Urban and Management Development. Bertempat di Gedung T lantai 14 kampus Erasmus University – Rotterdam, jadwal acara pagi ini dimulai jam 09.15.

Dari apartemen kami di Weenapad, kami berangkat sekitar jam 8 pagi. Jam segitu di Rotterdam pagi ini kliatan masih agak gelap.. kayak jam 6-an pagi di Jogja. Apalagi cuacanya mendung dan hujan rintik-rintik. Tapi menurutku dinginnya sih masih agak ketahan… aku cukup pake kaos lengen panjang yg didobelin jaket kaos tipis (soalnya aku gampang gerah en keringetan, jadi males pake jaket tuebel2 kalo cuaca nggak dingin banget). Plus bawa jaket parasut tipis hasil ngembat Emma, adekku di Bekasi, pas mampir di rumahnya sebelum ciao ke Belanda.. jaga2 aja kalo aku dah mulai gak nahan ama dinginnya hawa di Rotterdam. Dipandu oleh Miss Parmelia Hussain yg cakep en ramah, jadilah rombongan anak baru IHS berbondong-bondong jalan kaki ke Stasiun Centraal Rotterdam, nyegat traam nomor 7 buat pergi ke kampus.

Sampe di kampus kami disambut Ms. Cocky yg selama ini cuma kontak2an sama kami via email. Ternyata doi lebih ramah daripada yg kukira sebelumnya. Ada juga Mr. Rene yg pas kontek2an di email nanyain soal akte kelahiran sempet kukira cewek (abis namanya nyerempet2 ‘Reni’, jadi kirain cewek :D). Setelah coffee and tea time di bar area, kami masuk ke classroom buat sesi introduction. Di sini kita juga terima allowance (wah, ternyata lebih cepet dibanding perkiraan semula! Horree..!!), en ada picture taking juga setelah lunch break. One by one lho fotonya.. taken by Mr. Ruud Frank. Mungkin buat foto di kartu pelajar ya..? Foto2 author IHS Thesis Series juga kayaknya diambil dari sini.

Selanjutnya adalah official opening of the programme by the director of IHS plus sedikit kuliah pembuka di Senaat Hall, A-Building. Oya, sebelumnya kami sempetin dulu buat solat dzuhur. Ternyata ada juga musholla kecil en nyempil di kampus, di lantai dasar Gedung N. Lumayan empet2an buat solat sih, tapi Alhamdulillah masih disediain di kampus. Lagian gak pa-pa agak empet2an..kan hawanya dingin, jadi lumayan bisa skalian buat ngangetin badan :D

Nah, pas kuliah yg bertema Climate Change ini kuliat beberapa students mulai ngantuk. Aku sempet mergokin 3 students China yg nguap en terkantuk-kantuk, bahkan sampe ketiduran. Iya sih, kuliahnya udah sore gitu.. Ternyata gak cuma kita2 di Indonesia aja ya.. yg suka ngantuk pas jam kuliah. Tapi tampang2 ngantuk en teler selama kuliah langsung berubah jadi sumringah en cerah ceria begitu kuliah kelar dan dilanjutin reception with drinks di Cum-Laude Hall yg menjadi acara terakhir hari ini. Sekali lagi: gak cuma di Indonesia…

Ngomong2 tentang temen seangkatan, jumlah anak baru di UMD IHS ada 93 orang dari 29 negara. Kebanyakan sih dari Indonesia ama China.. skor-nya 27 – 21 untuk Indonesia :D. Selebihnya dari negara2 lain, macem2 warna kulit, macem2 warna en bentuk rambut juga. Pas empet-empetan di lift aku tadi ngamatin rambut salah satu cewek afrika di sebelahku.. mikirin gimana ya caranya ngepang rambut kriting jadi kepangan kecil2 rapi gitu.. kagum juga ama pengepangnya (btw ngepang sendiri atw dikepangin ya..? penasaran beneran euy… sumpah!). Di classroom sempet kenalan en ngobrol lumayan akrab juga sama Giulia, arsitek kece dari Bologna-Italy. Trus pas reception di Cum-Laude Hall ngobrol sama si Mubeen yang waktu kenalan ngakunya dari New York, tapi kuliat di daftar absen kok asalnya dari Pakistan ya..? Hihi.. gak tau deh yang error aku apa dia. Ada lagi si mungil Tasneem dari India yg sempet ngasih tips praktis buat c***k di toilet kampus yg no water available laiknya toilet2 di tempat2 lain di Londo sini. Dan yang paling heboh adalah si Justine dengan trio Destiny’s Child-nya, bareng Immaculate en Adrine.

Selain kepangan rambut yg bikin aku terkesan, English-nya temen2 dari Afrika ini juga bikin aku terkesan in a different way, hehe. Mereka lancar speaking English-nya.. tapi susah ditangkep maksudnya. Pronunciation-nya aneh. Beberapa temen dari Indonesia juga ngerasain hal yg sama.. brarti bukan aku sendirian yg tulalit dg English mereka :D Kalo temen-temen dari China menurutku relatif sama dengan kita.. mereka suka ngumpul2, ke mana2 bareng, en ngobrol2 pake bahasa mereka sendiri. Yang beda adalah dari segi fesyen.. mereka – terutama cewek2nya – jauh lebih modis dan gaya dibandingin kita ('kita'..?? lo aja kali Fi.. hehe)

Well.. that’s just my first day in Erasmus University. Lumayan capek, tapi seneng dapet banyak pengalaman baru. Capek jalan kakinya.. belum punya sepeda sih (ntar kalo dah punya sepeda bilangnya capek nggenjot sepeda deh :D). Sore itu kami pulang ke Weenapad dengan naik tram nomor 21, yang ternyata tarifnya lebih murah daripada tram no. 7. Yaa.. namanya juga lagi jadi mahasiswa… harus ngirit dong.. :D