Pages

Wednesday, December 29, 2010

5 Things I Miss about Indonesia

Iseng menuliskan 5 hal yg aku kangen dari Indonesia, yang nggak (belum?) bisa kutemukan di sini (tentu saja, hal ini di luar keluarga ya.. karena di atas segalanya, yg paling kurindukan adalah keluarga, terutama anak-anakku: Nadaa dan Hilmy).

1. Suara adzan life dari mesjid

Di Indonesia, suara adzan di waktu subuh kadang (sering? :D) kuabaikan begitu saja karena posisi tidur lagi wuenak-wuenaknya, atau adegan mimpi sangatlah seru sehingga sayang kalau di-cut begitu saja :D. Adzan maghrib jg kadang lewat gara-gara sinetron Ketika Cinta Bertasbih misalnya (nah lho.. sinetron islami lho ini). Sedangkan alasan paling tepat untuk menunda sholat ketika adzan isya berkumandang adalah: rentang waktu untuk sholat isya yang panjang. Ujung-ujungnya sholat isya-lah diriku ini dengan terkantuk-kantuk karena mendahulukan kerjaan ‘yang lebih penting’ (astaghfirullah.. jangan ditiru ya teman-teman :D).

Betapa sering mengabaikan suara adzan ketika di Indonesia. Padahal betapa beruntungnya aku kala itu karena selalu diingatkan untuk sholat 5 waktu. Nggak seperti di sini yang harus selalu buka-buka jadwal sholat dan berusaha mengingatnya.

Sekarang aku jadi lebih menyadari.. bahwa mendengar suara adzan subuh bersahut-sahutan di pagi hari ketika kita membuka mata adalah suatu anugerah. Indah banget. Allahu Akbar…

2. Toilet ‘basah’

Kayak lumpia semarang aja ya, ada yang basah - ada yg kering. Tapi suer, how I miss “Indonesian -style toilets” very much.. Toilet yang ada bak-nya, ada ember dan gayungnya, minimal ada slang air buat ‘bersih-bersih’ lah. Di Londo sini toiletnya benar-benar kering kerontang. Nggak ada airnya, kecuali air di dalam kloset. Bahkan nggak ada floor drain-nya (itu lho, lubang-lubang di pojokan lantai untuk menyalurkan air buangan). Beruntung kalau di dalam toilet tersedia wastafel dengan kran airnya, aku bisa bilas-bilas dan bersuci dengan agak leluasa. Seringnya sih cuma ada toilet tissue. Diriku yang asli wong ndeso ini mana bisa c***k dengan kertas, hehe. Be-a-ka aja repot, apalagi kalo be-a-be, wuaaahh.. masak dilap pake tisu doang.. :D

Nah, supaya bisa bersuci dengan aman-damai-sentosa di dalam toilet yang sepertinya tidak didesain khusus untukku ini, ke mana-mana aku selalu bawa botol aqua kosong, untuk diisi air di wastafel yg biasanya tersedia di luar pintu toilet (thanks to Tashneem atas idenya). Sementara di rumah, asesoris toilet kami lengkapi dengan pot penyiram bunga ukuran kecil untuk menampung air dari wastafel dan untuk membilas/’bersih-bersih’.

Tapi tetap saja, toilet-toilet yang kering en kinclong ini membuat kenikmatan dan kemerdekaan p***s rasanya jadi berkurang, apalagi kalo pas kebelet banget. Nggak bisa los, harus pinter-pinter ngatur ‘debit air’ yang keluar, karena kalo jor-joran sampe keluar bunyi kayak lagi nggoreng tempe pastilah cairan kuning itu nyiprat ke sana ke mari dan mbleber ke mana-mana, menodai kesucian lantai toilet :D. Mana nggak ada floor drain-nya lagi.. air mau lari ke mana coba? Padahal nih ya, batas bawah hawa Londo yang sekitar 3 - 5 derajat cukup sukses membuatku ‘beser’, dan di toilet yang menyebalkan itu aku nggak bisa melepaskan hasrat dengan leluasa (ih, bahasane kok ngeri). Huhu, beginilah nasib wong ndeso yang nekad keluyuran sampe ke Londo.. mau p***s aja ribet :(

3. Penjual gorengan

Pisang goreng, mendoan, tahu isi, bakwan dan teman-temannya pastilah nyam-nyam banget untuk dinikmati di tengah hawa dingin Rotterdam yang membuat frekuensi laparku menjadi berlipat dari biasanya. Sayangnya di sini nggak ada penjualnya. Mau bikin sendiri selain ribet, harga bahannya juga mahal (bilang aja males.. :D). Jenis gorengan yang dijual di sini yang paling sering kujumpai adalah lumpia&pastel ayam ala vietnam, ada juga kentang goreng sebangsa french fries tapi agak lebih besar-besar potongannya yang di sini disebut patat. Kedua jenis gorengan ini dijual di kedai-kedai portable di pinggir jalan.

Pernah setelah capek keliling-keliling aku dan beberapa teman berniat membeli lumpia di gerobak orang vietnam. Sebenarnya aku agak sedikit ragu.. lumpia ini beneran halal apa nggak. Mikir-mikir.. isinya ayam sih, tapi nggorengnya campur bahan lain atau nggak.. minyaknya pake minyak apa. Tapi berhubung rasa lapar telah begitu mendera di tengah hawa dingin yang menyiksa, ditambah profil lumpia di depan mata yang begitu menggoda (hehe), dengan membaca bismillah kumakan juga lumpia seharga 0.9 euro itu. Baru dua gigitan..tiba-tiba ada pemberitahuan dari bapak-bapak di sebelah (kayaknya orang Maroko), “no eat.. no eat..!” . Refleks kami segera ber’hoek-hoek’ di tengah jalan. Benar juga intuisiku. Yaah.. melayang deh 0.9 euro sia-sia.. Astaghfirullah.. Janji, lain kali harus lebih hati-hati.

Beberapa hari kemudian, kami nemu gerobak lumpia serupa bersertifikat halal. Harga lumpia per biji-nya 1 euro. Ada juga gerai ayam macam KFC yg bersertifikat halal, sepertinya milik orang Turki, judulnya Chicken Express. Setangkup beef burger dihargai 1 euro. Nikmat di mulut, kenyang di perut, nyaman di kantong, tenang di hati. Alhamdulillah…

4. Tukang tambal&pompa ban, bengkel pinggir jalan

Sebagai pengendara sepeda di Rotterdam, ketenangan dan ketentraman batinku berada di level yang sangat rendah dibandingkan ketika berkarir sebagai pengendara motor di Jogja dan Makassar :D. Ya, meski keadaan lalu-lintas di Indonesia seringkali dicemooh -- yang ruwet-lah, sering macet, kacau-balau, dsb -- tapi bagiku keberadaan tukang tambal/pompa ban dan bengkel-bengkel kecil disepanjang jalan di Indonesia mengalahkan segala keteraturan sistem transportasi di sini (maafkan diriku yang naif ini, wahai para ahli urban management, transportation system, etc).

Tempo hari salah seorang teman terpaksa harus menginapkan sepeda di kampus gara-gara bannya kempes. Mau dituntun pulang, jaraknya lumayan bikin kaki gempor. Sementara di jalanan tidak ada satu pun penjual jasa pompa ban. Nggak terbayang kalo naik motor di sini ban motor tiba-tiba kempes di tengah jalan. Coba kalau TKP-nya berada di Jalan Kaliurang Km. 5 Yogyakarta.. tinggal dituntun dikit pasti nemu tukang tambal/pompa ban, atau bengkel-bengkel kecil di sepanjang jalan yang bisa nolongin. Minimal ada mas-mas baik hati yang berempati nanyain kenapa kok motornya dituntun (hihi, nggak nyambung).

5. Tukang becak

Di hari-hari awal sebagai new comer di Rotterdam dan belum punya sepeda, ke mana-mana aku selalu jalan kaki. Kalaupun naik tram/metro, untuk menuju halte / stasiun harus jalan kaki dulu. Kalau di Indonesia dulu terbiasa ke mana-mana naik motor dan jarang jalan kaki, di sini aku harus membiasakan diri berjalan kaki dengan irama cepat – beda dengan gaya jalan sewaktu di Indonesia, santai – supaya tidak membeku kedinginan di jalan. Semua orang di sini seperti dikejar setan, jalannya cepet-cepet banget. Ternyata bukan setan yang mengejar mereka, tapi terpaan hawa dingin yang mau nggak mau membuat kita harus bergerak cepat.

Program tour through Rotterdam di minggu pertama kuliah sempat membuatku tersiksa. Dipandu oleh mas bule yang ramah, perjalanan tour yang melewati beberapa landmark kota Rotterdam seperti Stadhuis (gedung pemerintahan), Cubic House/Kubus Woningen (deretan rumah berbentuk kubus yang melintang 45 derajat), Bibliotheek (perpustakaan kota), Maritiem Museum, Pathe (gedung bioskop), De Doelen (semacam tempat konser dan gedung pertemuan) serta beberapa tempat lainnya sempat membuat kakiku pegel sepegel-pegelnya. Kakiku rasanya sudah hampir patah ketika tour berakhir di Rotterdam Central Station. Padahal jarak stasiun ke Weenapad – ‘kos2an’ku – masih lumayan panjang untuk ditempuh dengan kondisi kaki yang mengharu-biru :D.

Deretan becak yang sedang menunggu penumpang di depan Mirota Kampus terbayang di benakku. Ingat betapa bapak-bapak tukang becak itu sampe ketiduran di dalam becaknya. Oh pak tukang becak, really wish you were here…

Ya, itulah sebagian hal-hal yang sepertinya sepele di Indonesia, tapi benar-benar kurindukan kehadirannya di sini (cieee..). Sebenarnya masih ada lagi beberapa, seperti tukang jajan keliling (sebangsa sate, bakso,mie ayam, somay dan teman-temannya.. pas banget buat mengganjal perut dengan praktis dan secepat kilat), penjual sayur keliling, tempat fotokopi dan cetak foto murah yg berjejeran sepanjang Selokan Mataram dan Jalan Kaliurang, tempat permak jeans (secara di sini pakaian yg dijual kebanyakan berukuran raksasa), tukang sol sepatu…

O Indonesia, you’re truly “user-friendly” for me..!! :D
(Rotterdam, Oct 19 2010)

1 comment:

  1. hehehehe... toilet basah, mungkin hanya ada di negara berkembang, termasuk Indonesia.

    ReplyDelete