Pages

Sunday, July 28, 2013

Mengenang Mbah Uti


Ini mungkin cerita sweet moment yang tak biasa. Karena saya ingin berkisah tentang cerita bersama nenek saya. Nenek? Hmm, biasanya sweet moment itu bersama kekasih, suami/istri, atau sahabat. Biarlah, saya tetap akan berkisah tentang sweet moment bersama nenek. Sekalian mengenang beliau yang telah lama dipanggil oleh-Nya.

Mbah Uti, begitu saya memanggil nenek. Semasa kecil hingga tamat SMP, saya tinggal bersama Mbah Uti. Banyak orang bilang, saya adalah cucu kesayangan beliau. Hmm, iya kah? Saya sebetulnya tak merasa diistimewakan. Hanya memang kebetulan, saya lah cucu yang sempat tinggal lama bersama Mbah Uti.

Yang paling saya ingat, dulu sewaktu TK, setiap pagi Mbah Uti akan menyisir rambut saya yang panjang. Kepang dua atau kuncir dua. Dengan jepit dan karet rambut warna-warni. Tak lupa minyak rambut ‘jadul’ yang membuat rambut saya hitam mengkilat dan gampang disisir.

Jika ada teman yang nakal atau iseng, Mbah Uti yang akan membela saya. Pernah suatu kali sekelompok anak-anak cowok menjahili dan menakut-nakuti saya dengan kucing. Saya pun mengadu kepada Mbah Uti yang kemudian menasihati anak-anak ‘nakal’ itu hingga tak lagi berani jahil.

Mbah Uti amat pandai mendongeng. Sambil menyuap sarapan atau kala menjelang tidur, Mbah Uti mendongengi saya. Dari Timun Mas hingga Ande-ande Lumut. Dari Malin Kundang hingga kisah Nabi-nabi. Bahkan ketika dongeng itu dikisahkan berulang, saya tak bosan menyimaknya.

Ketika tau saya suka membaca, Mbah Uti melanggankan saya tiga majalah sekaligus. Bobo, Donal Bebek dan Ananda. Dan ketika saya masih saja kekurangan bacaan, beliau tak segan meminjam majalah-majalah edisi lama dari teman-temannya untuk saya baca.

Mbah Uti juga lah yang mengajari saya mengaji. Dari mulai Juz Amma hingga saya bisa lancar membaca Al-Quran. Mbah Uti rajin sekali pergi ke masjid atau ikut ‘pengajian’ di mana-mana. Kadang saya ikut beliau ke pengajian. Menikmati dengung suara orang mengaji sambil mulut sibuk mengunyah camilan yang tersedia.

Ketika Ramadhan tiba, Mbah Uti membuat menu istimewa untuk sahur dan berbuka. Membuat saya semangat berpuasa. Carang gesing, bubur ketan hitam, atau stroop nanas, selalu saya tunggu ketika berbuka. Dan mata mengantuk saya akan terbuka lebar saat hidung mencium aroma gulai otak atau paru goreng yang terhidang di kala sahur tiba.

Mbah Uti suka membuat kue. Termasuk ketika menjelang Lebaran. Yang paling saya ingat adalah kue nastar. Mbah Uti membiarkan saya yang masih kecil ikut membentuk bulatan-bulatan kecil nastar, dan menancapkan sebatang cengkeh di atasnya.

Lalu ketika saya beranjak besar dan menginjak bangku SMP. Setiap musim ujian tiba, Mbah Uti setia menemani belajar hingga jauh malam. Membuatkan susu hangat, lalu mengaji tak jauh dari meja belajar. Membuat suasana damai dan tenteram. Jika saya ingin bangun dini hari untuk melanjutkan belajar, Mbah Uti lah yang menjadi ‘alarm’ dan membangunkan saya di waktu yang saya minta. Saya tak perlu takut kesiangan, karena Mbah Uti teratur bangun sebelum subuh tiba.

Mbah Uti rajin shalat tahajjud. Saya pun rajin menitip doa kepada beliau. Mbah Uti mengajari saya banyak doa, termasuk doa ketika menghadapi ujian. Tatkala nilai ujian atau hasil raport saya bagus, itu pasti karena doa Mbah Uti pula.

Ketika saya bertambah besar dan kuliah di kota lain, setiap menjelang ujian semester saya mengirim surat kepada beliau, meminta doa. Menjalani ujian tanpa meminta doa Mbah Uti, rasanya seperti ada yang kurang dan membuat saya tak percaya diri. Lalu ketika liburan kuliah dan berkunjung ke rumah Mbah Uti, beliau akan tersenyum bahagia mendengar cerita tentang nilai ujian saya.

Sayang, Mbah Uti meninggal dunia ketika belum banyak yang bisa saya berikan kepada beliau. Walaupun ketika itu saya sudah lulus kuliah dan bekerja, rasanya belum bisa sepenuhnya membahagiakan Mbah Uti dan membalas jasa-jasa beliau.

Ternyata, begitu banyak sweet moment bersama Mbah Uti. Dan masih membekas hingga kini. Semoga Mbah Uti tenang dan mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Aamiin ya Rabbal ‘alamiin..



4 comments:

  1. Banyak ya kisahnya bersama Mbah Uti..
    aku paling suka kalimat "Menikmati dengung suara orang mengaji sambil mulut sibuk mengunyah camilan yang tersedia."
    keliatan banget polosnya anak2 :D

    Makasih ya udah share ceritanya..
    OK. Tercatat sebagai peserta ^^

    ReplyDelete
  2. Makasih Mbak.. Sukses buat GA-nya ^_^

    ReplyDelete
  3. Aamiin ... manis sekali kebersamaan dengan mbah Uti ya. Kayaknya dari sini ya kesukaan menulis Ofi, mulai dari senang membaca yang difasilitasi mbah, juga kesenangan mbah mendongeng :)

    ReplyDelete
  4. Aahh kangen nenekku jadinya.. sejak bayi aku sdh tinggal dg beliau, yg mendidik dan membesarkanku. Hehehe aku taunya dia ibuku sejak bayi. Uuuu mau mudiiikkk

    ReplyDelete