Pages

Monday, February 21, 2011

Jadi Pembantu di Rosa-Rosa

“Praaang..!!”
Astaghfirullahal’adzim, bisikku. Sesaat jantungku serasa berhenti berdetak. Dengan putus asa aku menatap pecahan kaca bening di hadapanku. Vas bunga dari kaca setinggi nyaris 1 meter itu kini hancur berkeping-keping. Lantai pun basah oleh air sabun yang seketika tumpah.

Mendengar suara gaduh di belakang, Tacik Sabrina menghampiriku.

“Aduh, maaf Cik.. Nggak sengaja..,” ucapku buru-buru.

“Pecah ya..? Nggak pa-pa.. Biasa kok, kalo baru hari pertama. Tanganmu ada yang luka?” reaksi perempuan setengah baya yang masih terlihat cantik ini sungguh di luar dugaanku. Alih-alih panik dengan vas bunganya yang pecah, beliau justru mengkhawatirkan aku. Sungguh majikan yang baik.
***

Ya, pagi tadi aku menggantikan Mas Heri bekerja di Toko Bunga “Rosa-Rosa”. Pemiliknya adalah pasangan suami istri Indonesia keturunan Cina, Tacik Sabrina dan Kokoh (lupa namanya). Job desc utamanya adalah mencuci vas-vas bunga yang sudah dipakai. Kedengarannya sederhana, ‘cuma’ mencuci vas bunga. Tapi bayangkanlah hal ini: mayoritas vas-vas tersebut berukuran besar setinggi minimal 70 cm (ada beberapa yang lebih dari itu), terbuat dari kaca, dan lumayan berat. Jumlahnya sekitar 50-an buah. Not as easy..

Seperempat jam menjelang pukul 9 pagi, aku sudah stand by di depan toko, menunggu sang pemilik datang. Tepat jam 9 pagi, mereka datang dengan mobilnya dan tugasku pun dimulai. Tacik dan Kokoh menyambutku ramah, mencairkan suasana di tengah hawa winter Rotterdam yang lumayan membekukan. Aku mulai dengan membantu Kokoh untuk membawa masuk beberapa pot bunga pesanan pelanggan ke dalam mobil.

Selesai angkut-mengangkut, masuklah aku ke tugas inti, yakni membersihkan dan mencuci vas bunga. Pertama-tama aku harus membuang air bekas dari semua vas bunga itu. Air dari vas disaring dan dituang ke ember, setelah ember penuh air tersebut dibuang ke saluran pembuangan. Beberapa kali aku harus menahan napas, bergerak hati-hati seiring pekerjaanku di antara benda-benda kaca, menuang air dari satu per satu vas-vas di atas meja pajang. “Be careful, hati-hati.” Bagaikan mantra, kata-kata itu terus kuulang dalam hati.

Session tuang-menuang air berhasil kulewati dengan mulus. Aku sedikit bernapas lega. Bertahap, kuangkut vas-vas itu ke ruang cuci di belakang. Vas pertama yang tingginya kira-kira sama dengan Hilmy, my 2.5 years old boy, berhasil kucuci dengan mulus. Aku pun beranjak ke vas berikutnya. Tapi malang, tanganku yang basah plus vas kaca yang licin, membuat insiden yang kuceritakan di awal tulisan tadi terjadi.

Seperti syair lagu Balonku Ada 5, hatiku pun benar-benar kacau. Bukan karena meletus balon hijau, tapi gara-gara vas bunga yang pecah. “Waduh, padahal aku baru saja mulai mencuci satu vas. Aku masih punya sekian puluh vas lagi yang harus kucuci! Bagaimana nasib vas-vas berikutnya nanti..? Mas Heri, tolong aku..!” pikirku panik.

Walaupun Tacik Sabrina terlihat santai dan tidak mempermasalahkan vas yang pecah itu, tak ayal aku menjadi lebih berhati-hati bahkan cenderung ‘parno’. Sampai-sampai Tacik berkata, “Nyante aja, nggak usah terlalu hati-hati. Yang kamu pegang itu bukan bayi kok..” Aduh Cik, bahkan waktu Nadaa dan Hilmy masih bayi pun seingatku dulu aku nggak se-hati-hati ini ‘memegang’ mereka, batinku geli sendiri.

Waktu menunjukkan pukul 12.30 ketika aku mengelap vas terakhir yang telah kucuci. Alhamdulillah pekerjaanku berjalan lancar hingga tak ada lagi vas yang pecah. Baru kurasakan pinggang yang lumayan pegal karena posisi bak cuci yang rendah mengharuskanku membungkuk sepanjang prosesi pencucian dan pengelapan vas-vas itu. Sambil meluruskan pinggang, kuminum teh yang dibuatkan Tacik sedari tadi pagi. Benar-benar beliau ini majikan yang baik, pikirku.

Selesai beres-beres, aku bergegas mengambil coat dan ranselku, bersiap pulang. Setelahnya aku menemui Tacik Sabrina untuk pamit sekalian minta maaf sekali lagi atas vas bunga yang kupecahkan.

“Tenang aja.. nggak pa-pa. Oya, ini buat kamu, “ ujar Tacik sembari mengangsurkan selembar euro kepadaku.

Belum sempat aku mengucap terima kasih, beliau meneruskan, “Kamu mau bawa bunga?” Kali ini sambil tangannya terampil memilah bunga dan merangkainya di buket.

Tentu saja aku tak menolaknya. Dua buket bunga yang indah dan wangi pun berpindah ke tanganku.
***

Kutaruh buket bunga itu di keranjang sepedaku. Sembari mengayuh sepeda menuju kampus, kureka ulang pengalamanku sepanjang pagi hingga siang tadi. Aku bercermin pada Tacik (juga Kokoh) bagaimana sebaiknya kita memperlakukan ‘pembantu’. Aku belajar bagaimana capeknya bekerja ‘kasar’, dan merasakan galaunya hati ketika membuat kesalahan fatal.

Terngiang kalimat Mas Heri di sela cerita tentang pengalamannya yang sempat membuat satu vas bunga Tacik retak, “Jadi kalau pembantu kita di rumah itu kadang ingin menutupi kesalahan yang diperbuatnya, aku sekarang bisa memahami. Dan sikap majikan yang merusaha mengerti, justru akan mendorong pembantunya untuk jujur.”

Ya, siang itu aku mendapat pelajaran berharga. Plus euro dan bunga, tentu saja. Dalam hati aku menggumam, jika suatu hari nanti Mas Heri memintaku untuk menggantikannya lagi, will I say yes..? Hmm.. Let’s see then :)

No comments:

Post a Comment