Pages

Wednesday, May 14, 2014

[Dimuat di Republika]: Pandangan Si Kecil terhadap Pedagang Keliling


Alhamdulillah satu tulisan ringan tentang anak-anak dimuat di rubrik Buah Hati harian Republika (suplemen Leisure) edisi Selasa 13 Mei 2014. Lumayan cepat proses muatnya, karena saya mengirimnya tanggal 4 Mei. Berarti 'masa tunggu'nya cuma 9 hari. Panjang naskah sekitar 500 kata, dikirim via email ke leisure@rol.republika.co.id. Berikut tulisan versi aslinya sebelum diedit oleh redaksi:



EMPATI SI KECIL KEPADA PEDAGANG KECIL
 


“Gorengan anget-anget..! Gorengan buuu...!”

Seruan melengking nenek penjual gorengan keliling mengalun mengusik ketenangan Minggu siang itu. Seperti biasa, suasana perumahan sepi. Para penghuni kebanyakan sedang menghabiskan waktu refreshing bersama keluarga di luar rumah atau tidur siang.

“Kasihan ya Bun, nggak ada yang beli,” celetuk si sulung Nadaa.

Celetukan yang sama dengan apa yang saya rasakan di hati. Prihatin, karena jarang sekali ada yang mau membeli gorengan nenek itu.

“Iya Nak. Bagaimana kalau kita beli?” usul saya.

“Tapi kan rasanya kurang enak, Bun. Hanya asin saja. Lagian udah dingin, nggak panas lagi. Lebih enak gorengan yang Bunda bikin,” Nadaa menjawab ragu.

Ya, memang harus diakui, gorengan yang dijajakan si nenek ‘kurang memuaskan’ rasanya. Mungkin itu sebabnya dagangannya kurang laku. Di sepanjang blok, sepertinya hanya kami yang kadang membeli gorengannya.

Belum sempat saya berkomentar, Nadaa sudah menyambung, “Eh tapi kasihan juga kalau tidak laku. Ya sudah, Nadaa panggil ya Bun?”

“Kasihan?” ulang saya.

“Soalnya udah tua, nenek-nenek. Capek jalan kaki, tapi nggak ada yang beli,” terang Nadaa.

Jadilah hari itu kami menikmati bakwan dan ‘mendoan’ ala si nenek sebagai cemilan sore. Agak keras dan keasinan, tapi membawa rasa syukur di hati. Menyaksikan senyum merekah si nenek ketika menerima uang pembayaran gorengan dari kami, dengan ucapan “terimakasih ya Mbak” yang tulus.

“Kapan-kapan kita beli gorengannya lagi ya Bun. Biar neneknya senang. Nadaa jadi ikut senang,” kata Nadaa. Saya tersenyum mengiyakan.

“Yang susu, yang susu..!!”

Di pagi hari, giliran suara lantang kakek tua penjual sule (susu kedele) yang memecah sunyi di perumahan kami. Setiap pagi, kakek ini berkeliling menawarkan susunya menggunakan sepeda mini.

“Beliii..!” Si kecil Hilmy buru-buru keluar rumah, diikuti Nadaa. Seperti biasa, mereka memilih susu rasa coklat dan stroberi.

“Kakek itu kasihan ya Bun,” kata Nadaa. Diikuti anggukan Hilmy.

“Kenapa?” pancing saya.

“Sudah tua masih harus cari uang, keliling-keliling naik sepeda jualan susu. Kan capek,” jawab Nadaa.

“Iya, makanya kita beli susunya. Biar si kakek dapat uang banyak,” sambung Hilmy polos.

Saat mereka berdua asyik menikmati susu masing-masing, saya bercerita bahwa di kantor ada juga penjual susu kedele dengan merk sama seperti yang dijual si kakek. Bedanya, penjual susu kedele yang acap mampir di kantor saya masih muda, dan mengendarai motor.

“Bunda jangan beli yang di kantor. Belinya sama kakek itu aja.. kasian kalo kita tidak beli,” ujar Hilmy.

“Iya Bun. Lagian yang jualan di kantor kan pasti lebih banyak yang beli. Apalagi dia pake motor. Kalo kakek itu kan capek karena cuma naik sepeda, dan sudah tua,” Nadaa menimpali.

Saya mengangguk-angguk. Terharu mendengar permintaan mereka.

Dengan mengajak berinteraksi dan berdiskusi tentang para pedagang kecil itu, alhamdulillah bisa mengasah empati Nadaa (10 tahun) dan Hilmy (5.5 tahun) terhadap sesama. Semoga hingga anak-anak dewasa kelak, rasa empati itu selalu terjaga.

***

6 comments:

  1. selamat ya mbak ofi, keren banget sering tembus media hihi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. baru beberapa kali, belum sering kok.. hihi. ayo, kirim2 juga yuk :)

      Delete
  2. salam untuk Nadaa dan Himly mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih dah mampir.. salam balik buat tante zefy dari nadaa dan hilmy.. ^_^

      Delete
  3. Kereeeennnn, nulissss ah ke Republika... Hap, hap, haappp... thanks for sharing ya mak...

    ReplyDelete