Pages

Sunday, November 24, 2013

Percikan: Cerita tentang Papa

        Naskah  ini dimuat di rubrik 'Percikan' Majalah GADIS No. 21 terbit 30 Juli 2013. Kirim naskah tanggal 18 Juli, kurang lebih seminggu kemudian dapat konfirmasi dari redaksi melalui telepon.

Merupakan naskah pertama yang dikirim ke GADIS, dan langsung dimuat. Alhamdulillah.  Naskah berikutnya tak kunjung dimuat, hehe. Dan sampai sekarang belum nulis-nulis lagi *jewer*.

Ohya, bagi yang ingin kirim-kirim naskah ke GADIS, ini alamat emailnya: GADIS.Redaksi@feminagroup.com.

***


CERITA TENTANG PAPA


Papaku memang ganteng. Di usianya yang menginjak 45 tahun, Papa masih terlihat muda. Tubuh Papa tinggi, atletis. Gaya berpakaian Papa keren, walaupun bukan tipe pria-pria metroseksual. Selera humor Papa oke, selera musiknya juga. Pengetahuan Papa luas. Dari soal ilmu gambar dan bangunan (tentu saja, Papaku arsitek), sejarah, politik, hingga gadget dan sepakbola.


Pendeknya, Papa keren abis. Tak jarang, kala berbelanja sekeluarga ke mall, aku mendapati mbak-mbak SPG berbisik-bisik sambil melirik ke arah kami. Tepatnya ke arah Papa. Dalam hati aku sebal juga dengan tingkah ganjen mereka. 


Selain ganteng, Papa juga seru dan pandai bergaul. Temannya banyak. Papa punya komunitas di mana-mana. Bahkan setahun ini beliau menjadi ketua komunitas fotografi di kota kami.


Aku tahu, di antara teman-temannya yang banyak itu pasti ada yang naksir Papa.  Mbak-mbak SPG di mall aja suka ngeliatin Papa. Ah, aku sebal kalau memikirkan soal satu ini. Sementara Mama keliatan adem-ayem dan santai saja. Tetap tampil apa adanya dan tidak suka dandan. Namun begitu, Mama tetap anggun dan kecantikan terpancar di wajahnya yang teduh.


Suatu sore aku, Mama dan Papa jalan ke mall. Biasa, belanja bulanan sambil refreshing. Pas antri di kasir, aku mengamati suasana sekitar. Kulihat di kasir ujung, ada Tante Irma, teman kantor Papa dulu. Dia bersama suaminya. Anehnya, sambil mengantri, pandangan mata Tante Irma tertuju kepada Papa. 


Ketika menyadari kehadiranku dan Mama, Tante Irma terlihat salah tingkah. Menurutku  itu aneh. Kenapa beliau tak menyapa kami  saja? Ketika akhirnya kami beranjak dari kasir , hatiku masih menyimpan tanya. Ada perasaan tak nyaman menjalariku.


Besoknya, hari Minggu, aku mulai berlagak seperti detektif. Bangun tidur, ketika Papa masih asik jogging bersama Mama, aku memeriksa Blackberry Papa. Hmm, tak ada hal-hal ‘aneh’ di sana. Siangnya Papa ada acara bersama komunitasnya. Kali ini kesempatan buatku untuk meng-explore laptop Papa.


Deg! Jantungku serasa mau copot ketika aku menemukan file MS-Words di Document tertanggal tiga tahun lalu. Surat yang ditujukan untuk Tante Irma. Isinya semacam surat putus gitu deh. Kayak orang pacaran saja, batinku kesal. Eh, what..? Pacaran..?? Berarti Papa...?


Darahku langsung terasa mendidih. Panas. Kuraih HP.


“Rasti tau Papa udah selingkuh sama Tante Irma.”


Sent.


Aku tak peduli reaksi Papa nanti ketika membaca sms-ku itu.


Ketika Papa pulang, aku heran mendapati beliau bersikap biasa saja. Tadinya kukira Papa akan marah, apalagi sms-ku juga tidak dijawabnya.


Malam hari, ketika aku bersiap tidur, pintu kamarku diketuk. Rupanya Papa.


“Semoga Rasti mau mendengar penjelasan Papa,” ujar Papa to the point sambil mengambil tempat di ujung ranjangku. Aku diam saja.


Papa bercerita panjang lebar. Betul, surat itu memang ada, dan akhirnya diberikan kepada Tante Irma. Juga betul, bahwa Papa pernah ‘terpeleset’ dan menjalin hubungan dengan Tante Irma. Walau cuma sebentar. Sebelum akhirnya mereka sadar. Itulah salah satu alasan mengapa Papa memutuskan untuk resign dari kantor dan membuka usaha konsultan di rumah. Menjauhkan diri dari Tante Irma.


“Rasti percaya Papa kan? Papa memang sempat khilaf, tapi cinta Mama dan Rasti terlalu berarti untuk Papa sia-siakan. Maafkan Papa telah pernah salah langkah,” Papa mengakhiri kisahnya.


“Mama tau semua ini Pa?”


“Papa memilih untuk tidak cerita kepada Mama. Tak ingin melukai hati Mama. Yang penting Papa janji dalam hati, untuk menjaga hati Papa dan keluarga kita agar tetap utuh.”


“Janji ya Pa?” tegasku.


Papa mengangguk mantap, sebelum merengkuhku ke dalam dekapan hangatnya.


***

18 comments:

  1. wah si papa keren mau mengakui kesalahan kepada anak, klo ke istri mungkin bener juga ya mak lebih baik disimpan, bukan gak jujur tapi menjaga perasaan aja

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mak.. semoga bisa jadi pelajaran dan gak terulang lagi ya.. walopun ini cuma fiksi sih ^_^

      Delete
  2. Wah, ceritanya keren : awal yang menarik utk terus lanjut membaca, konflik yang nyata dan tdk terkesan mengada2, ending yang logis dan tentu sj kisah yang berhikmah.

    Pengen bs nulis gini. Ajarin dong maaaak :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih apresiasinya mak.. jadi tersanjung ^_^
      saya masih belajar kok mak..jadi belom bisa ngajarin. saran saya palingan yaa banyak2 baca dan nulis (wew, sendirinya aja suka males :D)

      Delete
  3. keren mak, ho..ho.. kapan ya bisa nulis eren kaya gini ? ting ...ting ^__^

    ReplyDelete
    Replies
    1. hoho.. masih belom keren amat mak, karena masih pemula.. :)
      ayo ayoo.. pasti bisa nulis yang lebih kereeen.. ^_^

      Delete
  4. Aaa...jadi inget papi saya yg ganteng.. :D

    ReplyDelete
  5. Kok persis sama babe-ku yang guanteeng hehehehe..selalu Top jempol deh untuk karyanya mbak Ofi Tusiana yang manis n selalu laris :)

    ReplyDelete
  6. orang yang pandai bergaul memang sering dilirik orang kak

    ReplyDelete
  7. waktu mengirim naskah ke email majalah gadis, perlukah scan buku rekening?

    ReplyDelete