Pages

Sunday, May 29, 2011

[Lomba Dunia Maya] Tentang Ayahku, Ibuku, dan Internet


[Berdasarkan kisah nyata seorang sahabat, seorang ibu, yang bersedia dibagi untuk diambil hikmahnya. Sengaja, cerita diambil dari sudut pandang sang anak]

            Kenalkan, namaku Radit. Umur 9 tahun, kelas 3 SD. Kata orang-orang, aku mewarisi wajah tampan dan otak cerdas ayahku. Seorang insinyur yang bekerja di perusahaan otomotif terkenal. Sedangkan pembawaanku yang kalem menurun dari ibuku. Beliau ibu rumah tangga biasa, yang setia menjadi penunggu rumah kami. Mengurus segala keperluanku dan Ayah dengan baik.

Di sekolah aku dikenal sebagai murid yang cerdas. Selalu langganan ranking 3 besar sejak kelas 1. Padahal aku merasa tak terlalu rajin belajar. Biasa-biasa saja. Aku juga suka main, terutama main bola. Tapi, tak seperti kebanyakan teman lain seusiaku yang sedang gemar-gemarnya ber-internet ria: entah itu Facebook, atau game online, atau apalah, aku justru benci internet.  


Iya, kuulangi sekali lagi: aku benci, amat sangat benci, dengan internet dan dunia maya. Maya? Ah, aku pun benci nama itu. Seperti aku benci beberapa nama perempuan lainnya. Perempuan-perempuan yang melukai ibuku.

***

Masih kuingat sore itu, kala aku masih berumur dua tahun. Ya, ya, kalian orang dewasa pasti tak menyangka bukan? Bahwa anak batita sudah bisa merekam dan mengingat peristiwa dengan baik. Tentu saja, bagaimana mungkin aku lupa ketika sore itu kulihat wajah Ibu yang sedang menemaniku main di ruang tengah begitu muram dan sendu. Matanya sembab dan hidungnya berair.

“Ya Tuhan, tak kusangka..,” bisik Ibu waktu itu. Hmm, biarpun berkata pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya dengan baik.

Aku menatap Ibu dengan pandangan tak mengerti. Kuhentikan sejenak laju kereta mainan di tanganku. Tanganku menggapai ke wajah Ibu, berusaha untuk mengusap pipinya, bermaksud menghibur hatinya. Tapi Ibu salah mengerti.

“Oooh.. Radit anak pintar.. sini Nak, Ibu pangku ya..”

Lalu Ibu mendudukkanku di pangkuannya. Menghadap komputer di meja kerja Ayah.  Di layar terlihat untaian huruf yang kelak kutahu terbaca sebagai F-R-I-E-N-D-S-T-E-R. Aku masih ingat benar, di situ ada foto Ayah. Juga beberapa foto perempuan. Tapi ada satu wajah yang fotonya muncul berulang. Tulisan-tulisan kecil berbaris-baris di sekitarnya.

Semua terekam dalam otakku. Dan setelah aku belajar membaca dari Ibu di umur empat tahun, aku masih mengingat deretan huruf-huruf kecil di layar komputer itu.

Hi.. makasih ya, kiriman lagunya.

“Yang kemarin indah sekali. Thanks ya..”

“Oke, nanti sore di tempat biasa..”

Sore itu, di pangkuan Ibu aku mendongakkan kepala menatap lagi wajahnya, ketika kurasakan setetes air membasahi lenganku. Airmata ibu.

***

Lalu di suatu siang. Ketika aku asyik bernyanyi mengikuti gerakan Barney di VCD yang diputar Ibu untukku. Tiba-tiba terdengar Ibu terpekik pelan.

“Astaghfirullah..”

Aku melambatkan tempo suara nyanyianku. Menoleh pada Ibu yang mukanya mendadak pias. Ah, jangan heran ya. Anak seusia kami memang peka, walaupun kalian orang dewasa sering meremehkan anak-anak umur tiga tahunan seperti umurku saat itu.

“Ibu..,” aku mendekat. Ingin tahu.

Lagi-lagi Ibu memangku-ku. Kali ini beliau memelukku erat. Berdua kami menghadap layar komputer, duduk di kursi yang sama dengan waktu itu. Kursi kerja Ayah.

Sekali lagi mata dan otakku bekerja bersamaan. Melahap huruf demi huruf di monitor komputer.

Dear Maya,

Kau tahu..? Betapa aku hampir melonjak kegirangan ketika kuterima balasan emailmu pagi tadi. Aku bahagia.. karena ternyata perasaanku padamu tak bertepuk sebelah tangan. Walau awalnya aku ragu untuk berterus terang padamu.. karna kutahu kau sudah ada yang punya, seperti halnya diriku yang tak lagi sendiri.

Tapi semenjak kau hadir di hari-hariku.. sejak awal kita bertemu saat kau masih sebagai karyawan baru di kantor.. tak bisa kupungkiri rasa ini tak bisa kucegah. Dia tumbuh begitu saja.. kian hari semakin dalam. Hingga kemarin kuberanikan diri kutuliskan segala rasa dan asa ini padamu.

Terimakasih atas sambutan cintamu. Dan biarlah rasa ini hanya kita berdua yang tahu. Karna mereka tak perlu tahu..

With love,
Farhan.

Awalnya aku tak tahu apa arti deretan huruf itu. Tapi akhirnya setelah aku bisa membaca sejak umur empat tahun yang diajari Ibu, dan seiring bertambah nalarnya otakku, aku akhirnya mengerti mengapa Ibu terus-terusan menyusut hidungnya ketika memangkuku siang itu. 

Farhan adalah nama ayahku. Tapi Maya bukan nama ibuku.

***

Kemudian pada suatu pagi, di hari Sabtu. Seminggu setelah ulang tahunku yang keempat. Seperti biasa di akhir pekan, hari itu Ayah libur dan tidak ke kantor. Sekotak susu bergambar sapi lucu di kemasannya kuhirup nikmat sambil membolak-balik buku cerita bergambar, hadiah ulang tahun dari Ibu.

Aku hampir tersedak susu yang kuminum mendengar suara keras Ayah.

“ Kamu ngapain pake ngurusin urusanku hah? Mereka itu teman-temanku!”

“Tapi sebaiknya nggak seperti itu kalian berteman..,” suara Ibu terdengar parau di kupingku.

“Emang kenapa?” balas Ayah.

“Chatting sampai jauh malam.. lalu email-email itu.. puisi-puisi di dalamnya.. Ah, entahlah..,” ibu menyahut pelan.

Aku pura-pura tak mendengar segala keributan itu. Meneruskan membolak-balik buku cerita walau pikiranku tak lagi terpusat pada gambar-gambar di dalamnya. Sekali lagi aku nyaris tersedak, tersentak oleh suara pintu yang berdebam, dan suara mesin mobil yang distarter kasar. Oleh ayahku.

Hhh.. aku menarik napas berat. Internet. Chatting. Email. Kenapa selalu membuat ibuku sedih dan ayahku marah..?

***

Kemudian muncul makhluk baru bernama Facebook. Aku pernah lihat berita di televisi, penggunanya sudah mencapai jutaan orang. Tentu termasuk Ayah.

Tapi sepertinya Facebook membawa masalah baru di rumahku. Aku juga heran, selalu saja Ibu tahu kalau ada sesuatu. Bisa jadi karena Ayah makin kelihatan sibuk di depan laptop yang baru dibelinya beberapa minggu lalu. Atau mungkin Tuhan yang menuntun Ibu..?

“Aku baca di Facebook-nya Sa...,” kudengar suara Ibu yang sedang bicara di telepon. Mungkin dengan Tante Sasa, teman Ibu yang selalu baik padaku.

“Aku pernah nemu chatting-an Mas Farhan dengan perempuan itu. Mas Farhan lupa menutup akun Facebooknya..,” lanjut Ibu. Matanya berkaca-kaca.

Waktu itu aku memang masih TK dan baru berumur lima tahun. Tapi aku bisa merasakan, Ibu terluka. Entah karena Facebook, atau karena ‘perempuan itu’, atau karena Ayah. Namun kupikir, karena ketiganya.

***

Lalu tibalah hari itu. Ketika siangnya aku pulang dari hari pertamaku masuk SD, menjelang malam Ayah pulang membawa HP baru. “Blackberry,” begitu kudengar Ayah menyebut HP barunya. Hmm.. agak-agak mirip nama buah favoritku.

Seperti stroberi yang menjadi kesukaanku, sepertinya Blackberry ini menjadi benda favorit Ayah sejak itu. Ke mana-mana selalu dibawanya serta. Ketika tidur siang, Blackberry itu akan ikut dengan Ayah, diselipkan di bawah bantal. Pun kalau Ayah mandi. Pernah kulihat Ayah keluar dari kamar mandi setelah hanya sebentar saja di dalamnya. Oh, rupanya Ayah keluar untuk mengambil Blackberry-nya yang ketinggalan. Apa ayah tidak khawatir HP barunya itu basah..? pikirku waktu itu. Padahal seingatku dulu Ayah pernah marah ketika aku menumpahkan air minum dan sempat membasahi HP lamanya.

Kuperhatikan Ayah sering tersenyum-senyum sendiri, bahkan cekikikan, sambil menatap layar Blackberry-nya. Atau berbicara berbisik-bisik, medekatkan mulutnya di HP itu. Lain waktu kudapati ayah bergegas tergesa keluar rumah sambil menenteng Blackberry yang berbunyi, beberapa lama menghilang di luar sana, lalu masuk rumah lagi dengan wajah berseri.

 “.... perempuan bernama Rini itu. Apakah begitu cara kalian berteman..?” suara Ibu tiba-tiba menarik perhatianku yang sedang bercanda dengan si Belang, kucing kesayanganku.

Hening beberapa lama. Tidak terdengar sahutan dari Ayah.

“Sebaiknya BBM, Facebook, Twitter bisa dipakai dengan bijak..,” Ibu berkata lagi. Dengan suara yang datar dan.. hmm.., tegas? Ya, ya, tidak seperti dulu-dulu, kali ini suara Ibu tidak terdengar parau dan takut-takut.

Ayah masih diam.

Oh, ayolah Yah.. kenapa hanya diam atau marah tiap kali Ibu menyinggung soal itu.., ujarku dalamhati. Padahal aku berharap Ayah akan menjelaskan pada Ibu dengan baik, bahwa prasangka Ibu keliru.

Apakah memang tidak ada penjelasan yang baik dan masuk akal soal itu? Sungguh aku bosan dengan bantingan pintu atau suara mesin mobil yang meraung sebagai jawaban. Diam itu bukan jawaban, kan..? 

Huh, kalau aku pun bosan dan geram.. bagaimana dengan Ibu..?

***

            Ya, setiap tahun selalu ada saja masalah dari internet, e-mail, Friendster, Facebook, Twitter, Blackberry, atau apalah itu namanya. Lagi dan lagi.

Suatu malam, sewaktu aku ke dapur untuk mengambil air minum, aku mendapati Ibu tercenung sambil menggenggam HP Ayah. HP itu masih baru, kalau tak salah Ayah menyebutnya iPhone. Lalu tiba-tiba HP di tangan Ibu jatuh. Ah, mungkin telapak tangan Ibu berkeringat, lalu tangannya yang basah membuat HP itu tergelincir lepas dari tangannya. Untung tidak kenapa-kenapa, karena mendarat di pangkuan Ibu.

Sebelum Ibu memungutnya kembali, aku sempat melihat layar kecil itu. Foto Ayah bersama seorang perempuan. Wajah mereka begitu dekat satu sama lain. Tersenyum ceria sambil mendongakkan kepala ke atas. Persis pose-pose narsis teman-temanku yang suka berfoto-foto dengan HP mereka.

Ya, anak SD jaman sekarang mengantongi HP sendiri, adalah hal yang wajar bukan? Juga foto-foto gaya dongak ke atas dengan senyum sok ceria teman-temanku di HP mereka. Wajar-wajar saja. Tapi foto Ayah berdua perempuan itu sungguh tak wajar di mataku.

Aku berjalan kembali menuju kamarku pelan-pelan. Menggenggam erat segelas air minum yang barusan kuambil dari dapur, kujaga jangan sampai terlepas seperti HP di genggaman Ibu tadi.

Tiba-tiba aku langsung menbenci wajah perempuan itu. Aku saja merasa sebal dan kesal, maka bisa kubayangkan bagaimana perasaan ibu.

Ah, sudahlah. Aku harus segera tidur. Karena besok aku harus bangun pagi-pagi. Ujian kenaikan kelas hari pertama sudah menanti. Aku ingin naik kelas tiga dengan nilai bagus.

***

            Dan inilah puncaknya. Sore tadi aku pulang dari main bola dan mendapati seisi rumah berantakan.

“Terserah ya. Tapi aku sudah capek. Bertahun-tahun aku mencoba sabar. Siapa tahu pikiranku yang salah. Tapi nyatanya, bukti demi bukti selalu muncul. Tuhan membuka semuanya..!”

Bukti..? Bukti apa itu..? Aku bertanya-tanya dalam hati. Memikirkan apakah gerangan maksud ucapan Ibu barusan.

“Mungkin lebih baik aku yang mengalah. Biar aku yang pergi. Sama Radit. Tolong semuanya diselesaikan baik-baik,” masih suara Ibu yang terdengar di telingaku.

Tiba-tiba aku mendengar teriakan keras. Ibu! Aku bergegas masuk.

Di dapur kudapati Ayah memegang sebilah pisau. Matanya berkilat, menyaingi kilatan tajam pisau yang biasa dipakai Ibu mengiris sayuran itu. Betapa mengerikan!

“Jangan pergi!!” suara Ayah terdengar garang.

Oh, aku bahkan hampir tak mengenali lelaki yang selama ini kupanggil Ayah itu.

“Aku cuma capek dengan perempuan-perempuan itu,” Ibu menyahut datar. Suaranya terdengar lelah. Matanya terpaku pada koper yang tergeletak di atas lantai. Mungkin agak gentar pada pisau di genggaman tangan Ayah.

Tuhan, aku juga capek.. bisikku dalam hati.

***

Oh, aku tahu. Mungkin kalian para orang dewasa tak percaya mendengar ceritaku. Anak ingusan yang baru kelas 3 SD.  Pasti kalian lebih percaya pada kolom "About Me" yang terbaca di profil Facebook, Blog, dan Twitter ayahku:

Pria 37 tahun. Pecinta musik dan olahraga. Suami dan ayah yang sayang keluarga....

Hahaha..! Aku cuma bisa tertawa dalam hati.

Tertawa, tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena aku tak ingin menjadi anak durhaka, yang benci pada ayahnya. Walaupun aku sungguh ingin membencinya.

Maka biarlah internet saja yang kubenci, dengan segala dunia maya di dalamnya. Dunia yang kerap melukai ibuku, dan menghilangkan kedamaian di rumah kami.


(Rotterdam, Mei 2011)

9 comments:

  1. ikutan lomba dunia maya jga ya??
    mampir k blog aku jga di http://rianascreation.blogspot.com/ ya..

    ReplyDelete
  2. wah...benar-benar complicated story...;D
    koment juga ke blog An, yaa
    http://aniamaharani.blogspot.com/2011/06/lomba-menuliskisah-nyata-dunia.html

    ReplyDelete
  3. kemaren jalan2 kesini gak bisa komen jeee :) seperti biasa fi, very nice story!

    ReplyDelete
  4. @riana: iya nih. oke deh, ntar mampir ya.. makasih dah dikunjungi

    @es kribo: makasih atas kunjungannya ya :)

    @meli: haha, amiin deh.. doain menang ye. biar bisa nraktir :D

    ReplyDelete
  5. http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/07/01/update-hadiah-peserta-akhir/

    Silahkan cek peserta akhir

    ReplyDelete
  6. hm... yah. yang begini ini banyak sekali terjadi...

    ReplyDelete
  7. wah..keren tenan mak ofi buat cerita..

    ReplyDelete