Pages

Monday, January 31, 2011

Girls' Day Out: Paris!

Jumat, 29 Januari 2011. Malam itu aku hampir saja berniat untuk membatalkan perjalananku bareng teman-teman karena badan rasanya capek sekali setelah wira-wiri nyicil mengangkut barang untuk pindah ‘kos’ sesiangan tadi.

Tapi bayangan Paris dengan menara Eiffelnya, plus uang 32 euro yang sudah dibayar ke agen perjalanan Milotreizen, membuatku kembali mengukuhkan niat semula untuk having fun bersama mereka. Lagipula.. Paris gitu lho. Siapa yang mampu menolaknya..? :). Apalagi hanya dengan 32 euro untuk transport pulang pergi. Lumayan murah, menurutku.


Sekitar jam setengah sebelas malam, kami – rombongan 8 cewek – berangkat. Dikawal Pak Rizal dan Pak Nardi , rombongan bergegas ke Rotterdam Central, untuk menumpang metro hingga ke Zuidplein, di mana kami akan dijemput bis Milotreizen. Oya, satu di antara kami – Dewi – memisahkan diri untuk bertemu kemudian di Paris, karena dia menumpang bis Eurolines dan berencana menghabiskan satu malam di sana.

Sampai di Zuidplein kami masih harus menunggu lama karena bis baru akan datang jam 00.30. Hawa dingin winter berhasil membekukan kami. Terlebih bis yang ditunggu tak kunjung muncul . Kami bahkan sudah nyaris desperado untuk kembali lagi ke Weenapad – ‘rumah’ kami – dengan menumpang taksi, atau pergi saja ke rumah Tek Nung – tante Deary di Maaswijk – dan kembali lagi keesokan harinya dengan mengaku pulang dari Paris, daripada malu ketahuan teman-teman yang terlanjur tahu rencana tour kami ke Paris :). Untunglah kami tidak perlu mewujudkan ‘niat jahat’ itu, karena bis yang ditunggu-tunggu akhirnya datang tepat sesuai jadwal.

Sepanjang perjalanan, bis sempat berhenti 2x, untuk istirahat, ke toilet, dan makan (kalau mau), karena di dalam bis dilarang makan. Rasanya aku masih ingin melanjutkan tidur ketika pak sopir mengumumkan bahwa kita sudah tiba di Paris. Akhirnya.. Paris, here we come..!! Kulirik pergelangan tangan kiriku. Jam ½ 8 pagi. Pak sopir mewanti-wanti, kami harus sudah kembali lagi di bis pada jam 5 sore. Jika tidak, “so you’re in a big problem”, ujarnya. Haha, kalimat itu yang selalu diulang-ulang oleh Adodo, salah satu anggota grup kami.

Dengan muka kucel dan menahan rasa ingin pipis (ini aku saja atau teman-teman lain juga ya..? :) ), satu per satu kami keluar dari bis. Angin dingin seketika menyambut kami. Ya, sebelum berangkat Deary sudah mengingatkan, “minus 4 derajat lho mbak, di Paris”. Dengan mengekor Ahmed dan Toni yang menumpang bis yang sama, kami berjalan kaki menuju ke Stasiun Bercy. Menara Eiffel adalah tujuan pertama kami.

Di stasiun, bergegas kami mencari toilet. Maksud hati ingin buang air, plus tentu saja, sekedar cuci muka dan gosok gigi. Dengan sok tau kami mengikuti petunjuk arah “Etoile” yang dikira bahasa Prancis untuk kata toilet. Hahaha.. ternyata salah. Bukannya toilet, tapi nama salah satu stasiun. Setelah sibuk cari sana-sini, plus nanya-nanya yang dijawab “Sorry, I don’t speak English”, toilet berhasil kami temukan. Tapi ya ampun.. toiletnya nggak bisa dibuka! Pencet sana-sini.. gesek sini-situ.. nggak berhasil juga. Bahkan mbak Vivi sudah ancang-ancang untuk mendobraknya :D.

Takut membuang waktu gara-gara berkutat dengan urusan toilet, akhirnya kami memutuskan untuk langsung berangkat ke Eiffel. Dengan membeli Paris Visite (semacam tiket terusan) seharga 6.1 euro, kita bisa jalan semau kita seantero Paris dengan metro selama sehari penuh. Bicara soal metro, menurutku metro dan stasiun di Rotterdam (dan kota2 lain di Belanda) lebih oke. Metro di Paris lebih sempit, stasiunnya kurang bersih, dan tangga manualnya bikin capek (hehe).

Menuju Eiffel, kami berhenti di Stasiun Bier-Hakiem. Dari stasiun ke menara, kami bertemu dengan beberapa toilet portable, yang akhirnya bias terbuka setelah kami gagal di percobaan pertama. Interiornya lumayan lega, dan toilet akan ‘bersih-bersih’ sendiri dengan otomatis setelah pemakainya keluar dari kabin toilet.

Di kompleks menara Eiffel Dewi sudah menunggu. Lumayan ramai, walaupun masih jam 9-an pagi. Beberapa penjaja souvenir mendatangi kami. “One euro for six”, seru mereka menawarkan gantungan kunci berbentuk miniatur Eiffel. Setelah sarapan sekedarnya plus sesi foto-foto, kami bergegas ke tujuan berikutnya. Arc de Triomphe.

Kami memutuskan untuk kembali menumpang metro menuju Arc de Triomphe. Sesampai di sana, puluhan turis terlihat asyik berfoto ria di kawasan gapura yang dibangun atas perintah Napoleon Bonaparte itu. Tentu saja, kami pun tak mau ketinggalan. Dan hey.. lihat apa yang ‘ditemukan’ mbak Vivi di sini. Seorang cowok bule ganteng berwajah baik hati berhasil diajak foto bareng olehnya :).

Dari Arc de Triomphe kami menyusuri Avenue des Champs-Élysées yang terkenal itu. Pemandangan toko-toko mewah dengan brand-brand terkenal semacam Louis Vuitton berderet di sepanjang jalan. Berjalan kaki menyusuri kurang lebih sepanjang 2 kilometer, tibalah kami di Place de la Concorde. Konon tempat itu adalah alun-alun terluas di Paris, dengan obelisk-nya yang menjulang dan air mancur di sisi sebelahnya. Kami pun larut berbaur dengan turis lain sambil tak lupa jeprat-jepret dengan kamera. Oya, di sini kami sempat dibuat menunggu oleh trio Afrika rombongan kami yang menyempatkan diri naik kincir raksasa tak jauh dari obelisk :)


Next destination adalah Musee du Louvre. Siang itu museum terkenal yang juga menjadi backdrop di film The Da Vinci Code ini sungguh ramai. Tidak perlu membayar untuk sekedar memasuki area museum yang terkenal ini. Dengan escalator, kami naik menuju ke pyramid kaca. Sayangnya, waktu yang mepet membatasi kami untuk berlama-lama meng-eksplor museum. Tak apa-lah, yang penting sudah (lagi-lagi) foto-foto.. :)

Dari Musee du Louvre kami menuju Notre Dame de Paris. Tampak sebuah pohon natal besar masih terpajang di halaman depan katedral yang terkenal dengan arsitektur gothic-nya itu. Di sana kami memutuskan untuk sekalian makan siang. Perbekalan pun dibongkar dari back pack. Jejeran bangku panjang yang nyaman, serta kawanan burung merpati membuat makan siang kami terasa lebih nikmat. Seorang opa berbaik hati menawarkan diri untuk memfoto rombongan kami untuk berpose di depan katedral.Setelah gantian memfoto opa yang kelihatan masih mesra dengan oma pasangannya, kami pun beranjak pergi. Merci opa, kami harus buru-buru mengejar waktu..


Sepertinya naik turun tangga serta menyusuri lorong stasiun subway menjadi rutinitas kami di Paris. Sesekali kami menertawai sambil menyemangati Adodo yang terlihat kewalahan. Kembali kami menumpang metro untuk menuju mesjid. Sempat bingung di tengah jalan, kami bertemu dengan perempuan Prancis yang menanyakan tujuan kami. Wah, ternyata ada juga orang Prancis yang ‘ramah’, walaupun tetap saja: doesn’t speak English. Untungnya Dewi bisa berbahasa Prancis, dan berbekal petunjuk yang diperoleh dari si madame yang baik hati, kami pun melangkah pasti menuju mesjid.

Subhanallah, ternyata di tengah kota Paris berdiri masjid yang cukup megah. Berhiaskan taman yang tertata rapi dan pilar yang cantik dengan ukirannya, Grande Mosquee de Paris sungguh mempesona. Terlihat beberapa pengunjung yang sepertinya bukan muslim melihat-lihat kawasan masjid.

Setelah solat, kami pun bergegas ke destinasi terakhir: Basilique du Sacre-Coeur. Menyusuri jalan dengan deretan toko souvenir di kiri-kanan, kami harus menahan diri untuk tidak mampir, karena waktu harus diburu. Tampak bangunan megah basilica di kejauhan atas sana. Aku sempat keder dan merasa tidak sanggup kalau harus naik ke atas menuju basilica yang terletak di atas bukit. Tapi ternyata cukup dengan menggesek kartu Paris Visite, sebuah escalator akan mengangkut para penumpang ke atas. Dan wow.. pemandangan kota Paris terbentang indah sesampainya kami di atas. Tanpa membuang waktu, kami pun berfoto di sana, dan di tengah anak tangga panjang menuju basilica yang ramai oleh pengunjung.

Waktunya kembali ke bis. Kami masih punya sedikit waktu untuk berburu souvenir. Ya, hanya sedikit, karena waktu tersisa hanya sekitar satu jam. Alhasil, acara belanja souvenir khas Paris pun harus dilalui dengan terburu-buru. Tanpa banyak pilah pilih dan membandingkan harga, beberapa souvenir berhasil kami kantongi.

Dengan langkah bergegas, kami menuju stasiun untuk kembali menumpang metro menuju stasiun awal, Bercy. Dari Bercy kami bertemu dengan beberapa rombongan lain yang menumpang bis yang sama. Ya, tepat seperti perhitungan, kurang lebih pukul 5 sore kami tiba di bis dan berhasil menghindar dari ‘a big problem’ ala pak sopir.

Perjalanan pulang terasa lebih singkat. Mengira akan tiba lewat tengah malam, ternyata pukul 11 kami sudah tiba di Zuidplein, Rotterdam tercinta. Kami pun tak perlu menumpang taksi seperti perkiraan semula yang akan lebih mahal, karena jalur metro pada jam segini masih ‘hidup’.

Di atas metro menuju Rotterdam Central, kami tertawa mengenang waktu 24 jam sebelumnya.. mengingat saat kami begitu desperate, menggigil kedinginan di tengah malam menunggu bis Milotreizen yang akan membawa kami ke Paris.

Rotterdam - Paris - Rotterdam, 24 hours. What a great trip!

No comments:

Post a Comment