Rotterdam, hampir dua tahun lalu. Saya menjadi mahasiswa baru
di kampus keren itu: Erasmus University. Sambil menahan dinginnya angin bulan Oktober,
saya memarkir sepeda dan bergegas memasuki Building T, gedung kuliah IHS alias Institute for Housing and Urban Development Studies.
Tidak, tidak. Saya tidak hendak bercerita tentang kampus
saya itu, atau tentang Rotterdam dan Belanda. Tapi tentang Blackboard, sebuah ‘barang
baru’ yang baru saya kenal pertama kali saat kuliah master di Erasmus.
Jadi begini. Di minggu pertama masuk kampus, biasa lah ada
yang namanya orientasi kampus – tapi bukan MOS atau OSPEK lho ya. Nah salah
satu acaranya, kami dikenalkan sama si Blackboard ini, oleh Sharon -- staff
perpustakaan yang logatnya British banget, sampai saya sering bingung sendiri,
hehe.
Tiap-tiap mahasiswa dikasih amplop tertutup yang berisi username dan password masing-masing, untuk mengakses ke Blackboard. Segala hal
tentang perkuliahan, mulai dari daftar mata kuliah, syllabus, assignment
alias tugas-tugas, jadwal ujian, ada di situ. Pengumpulan tugas kuliah, ujian
yang berupa paper, juga thesis, di-submit melalui Blackboard. Nilai-nilai
ujian pun diumumkan di Blackboard, secara personal. Jadi setiap mahasiswa hanya
tahu nilai yang bersangkutan, dengan membuka akun Blackboardnya.
Dengan adanya Blackboard, paling tidak ada dua keuntungan
yang bisa dipetik. Pertama dan yang jelas adalah penghematan kertas dan tinta,
karena paper tidak perlu di-print untuk
dikumpulkan ke dosen. Kedua, efisiensi
waktu dan efektivitas perkuliahan. Syllabus
kuliah lengkap dengan daftar artikel/jurnal yang harus dibaca mahasiswa bisa
diakses sewaktu-waktu, sehingga (seharusnya) mahasiswa sudah well-prepared pada saat masuk ruang
kuliah.
Kerennya, si Blackboard ini memiliki fitur plagiarism checker. Pada saat men-submit paper, akan langsung terdeteksi
berapa persen tingkat ‘kemiripan’ paper yang disubmit dengan database ratusan bahkan ribuan artikel dan
jurnal di dalam Blackboard, termasuk dengan paper dan thesis yang sudah pernah
di-submit sebelumnya. Selain itu akan
terbaca pula secara detil, di bagian mana saja yang copy-paste plus dari mana sumber artikel yang ditengarai “mirip”
dengan paper yang disubmit.
Jadi, siapa pun yang mencontek, atau copy-paste sana-sini untuk papernya, pasti akan langsung ketahuan. Dan,
tiada kompromi bagi pelaku plagiarism.
“Failed” adalah harga mati. Menggunakan
karya tulis orang lain untuk memperkaya tulisan sendiri diperbolehkan, tapi
tidak dengan cara copy-paste begitu
saja. Ada etika dalam mengutip atau mem-paraphrase
tulisan orang lain.
Seandainya semua kampus (dan sekolah, mungkin?) di Indonesia
dapat menerapkan teknologi seperti Blackboard ini, maka selain akan terbiasa
memanfaatkan teknologi (informasi dan digital) serta efisiensi dan efektivitas
kegiatan belajar-mengajar, tentu budaya “mencontek” dan/atau copy-paste karya orang lain dapat
diminimalisir. Pelajar dan mahasiswa Indonesia akan terbiasa untuk kreatif
dalam menghasilkan karya tulis dengan ide-ide sendiri sekaligus menghargai
karya orang lain.
Apalagi di era teknologi informasi sekarang ini, berbagai
informasi seputar perkembangan teknologi begitu mudah diakses, misalnya di
portal Pusat Teknologi. Setiap orang bisa dengan mudahnya mengikuti dan memanfaatkan kemajuan teknologi di berbagai bidang, termasuk dalam dunia pendidikan dan tulis-menulis. Dunia per-blogging-an pun semakin marak dan jumlah blogger
semakin bertambah dengan berbagai komunitasnya (antara lain Komunitas Ngawur
dan Blogger Nusantara).
Tapi di sisi lain, kemajuan teknologi (informasi maupun
digital) kadang melenakan kita, karena dengan mudahnya kita bisa meng-copy paste tulisan orang lain dan
mengakuinya sebagai karya kita. Maka lahirlah karya abal-abal. Kita malas belajar dan berkreasi, toh bisa copy-paste.
Jika saja setiap blogger – yang pastinya pada
melek teknologi -- komit untuk menulis dengan jujur, tidak sekedar copy-paste agar postingan blognya
terlihat keren, tentu akan menambah nilai lebih blog beserta kontennya.
Jadi.. Yuk kita melek teknologi, but say no to plagiarism :)
***
*Tulisan ini diikutkan dalam Ngawur Writing Contest “Pemanfaatan Teknologi Digital Untuk Indonesia”
mbak opiii kereeeen :D
ReplyDeleteeniwei, klo njiplak tulisan siy skrg kyknya udah mule bisa lebih gampang dilacak. yg agak susah itu foto yaa... foto juga sasaran dr plagiarism tuwh. klo foto nya di watermarks or foto2 hasil karya fotografer yg udah punya nama siy iya agak susah di-aku sebagai foto sendiri. tapi banyakan kan juga suka ada yg mencatut foto milik orang lain, let's say someone on ur fb network or whatever or directly copied fromm their cameras. aq pernah baca di blog masakan salah satu pembaca nya ngasih tau klo foto2 di blog itu dicatut utk blog sebuah toko kue.. well yeah, butuh nurani memang yaa klo urusan plagiarism :)
deary juga kereeeen :D
ReplyDeletehmm, bener juga ya.. selain tulisan, foto juga sering dicopy-paste. nah lo, ati2 tuh de, foto2 jepretan deary kan keren2 (modelnya?? :D). jangan2 dah ada yg diambil orang diem2 ;)
yep, bener sekali..
ReplyDeletemasa kta berkualitas dari hasil kopi paste..? :)
Mbak Ofi, salam kenal :)
ReplyDeleteBagus, tapi belum bagus untuk di Indonesia, Mbak heheheh. Tahus endirilah. Wah, senengnya bisa kenal ama yang lagi belajar di luar negeri :)
salam kenal balik mbak anazkia.. saya dah balik lagi ke indo kok, dah sejak september lalu :)
Deletejustru harusnya di indo musti ada.. karena kan kita2 orang indo sukanya "dipaksa" :D
Wah, iya udah diubah hehehe
ReplyDeleteMakasih, Mbak n mohon maaf
Tapi kalau banyak spammer gimana?
hehehe, ntar kuganti lagi deh ;)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHai Mbak Ofi :)
ReplyDeleteKeren tulisannya. Semoga menang ya :).
setuju no copas.. semoga sukses ikutan lombanya ya :)
ReplyDeleteberkunjung ini mbak
ReplyDeletekeren euy tulisannya :)
Postingan yang original itu tanpa adsanya copas google pun akan sayang sama blog kita karena artikel nya 100% kita dapat dari pemikiran kita
ReplyDeleteya ampun..baru tau ada teknologi kyk gitu..doeng..doeng..
ReplyDelete